Oleh: Bahren Nurdin, MA
Jika anda pernah membaca beberapa bukunya Thomas Lickona dan tertarik dengan isu-isu pembangunan karakter, dipastikan anda pernah membaca salah satu kutipan berikut ini;
Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. (1991: 51)
Salah satu bukunya yang banyak menyita perhatian berjudul “Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility”. Isu senteral yang dibangun adalah bagaimana pentingnya mengajarkan ‘saling menghormati’ dan ‘tanggung jawab’. Dua hal ini memang sangat penting dalam membentuk karakter seseorang.
Pada kutipan di atas, dapat kita garis bawahi beberapa hal sebagai bagian penting dalam pendidikan karakter generasi bangsa ini. Pertama, ‘knowing the good’. Mengetahui apa yang baik dan benar. Hal ini sangat penting mengajarkan kepada anak-anak kita mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak ada wilayah ‘abu-abu’ dan ‘remang-remang’. Sampaikan yang baik itu walaupun pahit!
Kedua, desiring the good. Setelah mengetahui mana yang baik maka selanjutnya adalah menginginkan kebaikan. Tidak ada yang diinginkan dalam kehidupannya kecuali kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Maka yang hidup dalam benaknya (mind) adalah kebaikan dan kebaikan. Inilah yang kemudian membuat dirinya selalu ber-positive thinking. Mencoba untuk tidak melihat sisi buruk dari apa pun yang ia inginkan.
Ketiga, doing the good. Hasil dari mengetahui dan menginginkan yang baik itu kemudian teraplikasikan dengan prilaku atau perbuatan baik. Itu artinya, apa yang diketahui dan apa yang diinginkan akan berpengaruh terhadap apa yang dia lakukan.
Maka pembangunan karakter pada konsep yang ditawarkan oleh Lickoni boleh jadi memulai dengan menanamkan pengetahuan akan kebenaran (knowing). Penanaman pengetahuan ini tentunya tidak hanya secara formal di sekolah, tapi bisa juga melalui ‘pendidikan’ informal seperti di rumah. Orang tua sangat berperan menjadi ‘guru’ yang mengajarkan ‘the good’ tersebut sehingga menjadi pengetahuan.
‘Knowing’ itu harus pula sampai pada penumbuhan keinginan (desiring) yang pada akhirnya menjadi tindakan nyata (doing) dalam kehidupan sehari-hari. Tindak dan perbuatan inilah akhirnya yang menjadi karakter.
Pembentukan ini tentu saja melalui proses dan butuh waktu. Pembentukan karakter itu tidak bisa dilakukan secara instan. Maka dari itu, pembentukan karakter itu dilakukan dengan menanamkan kebiasaan (habit). Menariknya, Lickona mencoba merumuskan kebiasaan itu menjadi ‘habits of the mind, habits of the heart, and habits of action’.
Ternyata kebiasaan harus dimulai dari dalam pikiran (mind), hati (heart) dan prilaku (action). Tiga hal ini harus pula menjadi satu kesatuan yang untuk membentuk kepribadian yang berkarakter. Pikiran mempengaruhi hati (mood), perasaan hati akan menentukan tindakan yang diambil. Jika ini dilakukan secara terus menerus (kebiasaan) itulah yang disebut karakter.
Akhirnya, menghadapi segala bentuk persoalan degradasi moral saat ini, sudah saatnya pola-pola ini digunakan untuk membangun karakter generasi bangsa ini. Pastikan generasi muda kita memiliki pengetahun, keinginan dan perbuatan yang baik dan mendatangkan kebaikan. Baik dan kebaikan itu harus pula menyatu dalam pikiran, hati dan perbuatan. Semoga! #BNODOC26220092017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post