Artikel singkat ini saya tulis dalam perspektif sebagai orang kampung yang dibesarkan di pinggiran Daerah Aliran Sugai (DAS) Batang Hari, Jambi.
Dari kecil saya sudah hidup bersahabat dengan sungai terpanjang di Pulau Sumatera ini. Rumah penduduk desa saya berjejer di pinggir sungai. Hampir semua aktivitas harian seperti mandi dan mencuci pakaian dilakukan di ‘jamban’ (kamar mandi apung). Sewaktu kecil pun, kami anak-anak kampung menghabiskan waktu bermain di sungai. Apa saja jadi permainan, dari ‘lompan indah’ dari pohon, main layang-layang air, mencari ikan, hingga lomba berenang. Batang Hari adalah ‘water park’ terbaik yang kami miliki.
Apakah kami dalam bahaya? Seingat saya, orang-orang tua hanya mengingatkan, ‘hati-hati buayo’. Buaya ganas memang banyak di sepanjang aliran sungai ini. Sering masyarakat kampung ‘bertemu’. Tapi tidak pernah orang kampung saya dimakan buaya. Sewaktu masih sekolah menengah pertama (SMP) saya juga sering membantu ayah membawa kayu olahan dari perusahaan sawmill seberang kampung menggunakan perahu. Tidak jarang pula kami karam di tengah sungai. Berenang hingga ke tepi. Alhamdulillah selamat dan tidak juga dimakan buaya.
Deskripsi pengantar artikel ini saya sampaikan untuk menggambarkan bahwa dulu buaya di aliran sungai Batang Hari ini sangat ‘bersahabat’ dan kami masyarakat kampung dapat hidup ‘berdampingan’. Tapi mengapa sekarang buaya-buaya sungai ini mengganas?
Beberapa hari lalu, dua nyawa masyarakat Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi melayang disambar buaya ketika sedang mandi di jamban. Lebih menyedihkan lagi, kejadiannya berturut-turut. Dan jika dilihat ke belakang, kasus masyarakat di makan buaya telah terjadi berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Ada apa?
Pertama, Perspektif sosio-kemasyarakatan. Almarhum ayah saya lama menjabat sebagai Ketua Lembaga Adat. Beliau banyak menangani dan memutus perkara-perkara adat di desa kami. Suatu ketika di malam hari rumah kami kedatangan tamu ‘istimewa’ yaitu Harimau Sumatera. Beberapa kali mengeluarkan auman dan mencakar-cakar dinding rumah. Kemudian ia berlalu dengan meninggalkan bekas cakaran di dinding rumah kami. Hal serupa terjadi selama tiga malam berturut-turut.
Malam ke empat ayah beserta perangkat desa, pegawai syara’, tokoh agama, alim ulama, cerdik pandai, dan semua stakeholder di kampung itu dikumpulkan. Mereka semua yakin bahwa kedatangan Si Raja Hutan itu memberi tanda sesuatu. Biasanya, ada warga masyarakat yang ‘mengotori’ kampung dengan perbuatan-perbuatan asusila atau zina. Singkat cerita, tim investigasi dibentuk dan kemudian pelaku ditemukan. Si Raja itu pun tidak pernah datang lagi.
Anda boleh percaya, boleh tidak. Tapi begitulah adanya betapa alam sangat bersahabat dengan kehidupan masyarakat kampung kami di masa itu. Tanda alam seperti ini biasanya datang dari darat ‘dikhabari oleh harimau, dari sungai oleh buaya, dari udara oleh burung-burung tertentu. Kampung itu dianggap suci, maka jika ada yang mengotorinya, alam pun murka. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah ‘cuci kampung’ sebagai hukuman bagi pelaku zina.
Jadi, jika sekarang buaya-buaya ini semakin beringas, dari perspektif ini, jangan-jangan masyarakat kampung sudah banyak yang melanggar norma-norma yang selama ini terjaga dengan baik. Masyarakat kampung sudah kehilangan jati dirinya sebagai orang-orang yang memegang teguh norma agama, adat dan budaya. Jangan-jangan, pergaulan anak-anak muda kampung sudah di luar batas sehingga alam pun sudah ‘muak’ melihatnya.
Mungkin benarlah apa yang disenandungkan Ebit G. Ade melalui sya’ir lagunya “Berita Kepada Kawan”
_Mungkin Tuhan mulai bosan._
_Melihat tingkah kita_
_Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa_
_Atau alam mulai enggan_
_Bersahabat dengan kita_
_Coba kita bertanya pada_
_Rumput yang bergoyang_
Cobalah sesekali bertanya. (Bersambung…)
Discussion about this post