Sama-sama diketahui akhir-akhir ini masyarakat bumi disibukkan melawan hoaks (hoax) alias berita bohong atau kabar sampah. Didukung oleh masifnya penggunaan media sosial, penyebaran hoaks nyaris tak terbendung. Bagai air bah ia mengalir deras ke pelosok dunia terpencil sekali pun. Semua orang, dari yang tua hingga yang muda, dari yang pintar hingga awam, dari pejabat hingga rakyat jelata semua tidak luput dari serangan hoaks. Dunia ternyata telah dipenuhi kebohongan.
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan hoaks sebagai ‘to trick into believing or accepting as genuine something false and often preposterous’ (www.merriam-webster.com). Kata kuncinya ‘believing’ (mempercayai) dan ‘accepting’ (menerima) sesuatu yang tidak benar (false) dan sering tidak masuk akal. Anehnya, walaupun tidak masuk logika, hoaks masih saja diterima dan dipercaya. Maka Kamus besar Bahasa Indonesia dengan singkat mendefinisikannya sebagai berita bohong.
Persoalannya saat ini adalah masyarakat dalam kesulitan menentukan mana yang hoaks dan mana yang tidak.Faktanya, berita-berita bohong saat ini telah ‘dikemas’ sedemikian rupa sehingga tidak lagi nampak kebohongannya. Tentu saja, pembungkusan kebohongan dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Para pembuat dan penyebar berita bohong dengan sengaja melakukannya untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Namun demikian, hoaks dapat dikenali dari beberapa ciri yang melekat. Prof. Henry Subiakto, staf khusus Menteri Komunikasi dan Informatika bidang komunikasi dan media massa, merumuskan beberapa ciri hoaks, diantaranya 1. Sumber yang membuat tidak jelas sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. 2. Pesannya sepihak, hanya membela atau menyerang saja. 3. Sering mencatut nama nama tokoh seakan berasal dari tokoh itu. 4. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai-nilai ideologi atau agama untuk meyakinkan. 5. Judul atau tampilan provokatif. 6. Judul dengan isi atau link yang dibuka tidak cocok. 7. Minta supaya di-share atau diviralkan (http://ppid.nttprov.go.id).
Bahkan saking tidak bergunanya hoaks, Gubernur Jawa Tengah (non aktif) Ganjar Pranomo pernah menyebutnya sampah. “Nah hoaks dan fitnah ini seperti sampah yang bertebaran di alun-alun ini. Sekarang semuanya berjajar dari utara ke selatan lalu berjalan maju mengambili sampah semuanya, ayo,” kata Ganjar (news.okezone.com). Menarik juga untuk menganalogikan hoaks sebagai sampah. Lantas bagaimana perlakuan kita terhadap sampah?
Pertama, benda kotor. Ada yang suka sampah? Saya yakin tidak semua orang di dunia ini suka sampah kecuali dengan tujuan-tujuan tertentu seperti untuk daur ulang. Sampah itu sesuatu yang kotor, menjijikkan, membawa kuman dan penyakit, bau tidak sedap, dan seterusnya. Itulah sampah. Lantas jika hoaks sama dengan sampah, apakah anda menyukainya? Seharusnya tidak. Dapat diyakini bahwa hoaks adalah jenis sampah yang tidak bisa didaur ulang.
Kedua, disukai lalat. Salah satu binatang (serangga) yang menyukai sampah adalah lalat. Itu artinya, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang sejenis lalatlah yang menyukai hoaks. Persis seperti lalat, mereka akan menebar kuman dan penyakit dari satu tempat ke tempat yang lain. Menyebarkan berita hoaks melalui media sosial sama persis seperti lalat menyebarkan virus penyakit kepada orang lain.
Ketiga, harus ada tempat sampah. Sampah harus dibuang di tempat sampah. Maka sudah saatnya masyarakat dan stakeholder yang terlibat untuk memikirkan tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk sampah hoaks. Prosesnya agaknya tidak terlalu rumit. Jika masyarakat menemukan ‘sampah’ di mana pun berada harus memungut dan membuangnya di tempat sampah. Tempat sampahnya harus tersedia. Semua pihak sudah harus berpikir menyediakan tempat-tempat sampah hoaks di lingkungan masing-masing (TPS) sebelum kemudian diangkut dan dimusnahkan di tempat pembuangan akhir(TPA).
Keempat, diperlukan petugas. Untuk mengumpulkan sampah hoaks dan membawanya ke TPA sehingga tidak bertebaran di tengah masyarakat diperlukan petugas kebersihan. Sudah pula dipikirkan petugas khusus yang kerjanya adalah memungut dan memusnahkan sampah hoaks yang ada. Institusi Polisi Republik Indonesia (POLRI) agakanya adalah salah satu lembaga negara yang paling berhak membentuk ‘petugas kebersihan hoaks’ ini.
Kelima, kesadaran masyarakat. Bukankah kita sudah sangat sering diingatkan ‘buanglah sampah pada tempatnya’. Mulai saat ini, hal serupa juga harus diterapkan untuk berita hoaks. Masyarakat harus memiliki kesadaran penuh untuk ‘membuang sampah hoaks’ pada tempatnya. ‘Buanglah Hoaks pada tempatnya’. Tidak boleh cuek atau acuh tidak acuh jika menemukan ‘sampah’. Cintailah ‘kebersihan’!
Akhirnya, jika kita sepakat bahwa hoaks adalah sampah, maka saatnya kita peduli sampah agar negeri ini bersih dan indah dari sampah-sampah hoaks yang bertebaran. Semakin banyak sampah hoaks maka negeri ini akan kotor dan mudah diserang ‘penyakit’. Ayo ramai-ramai menumbuhkan kesadaran ‘buanglah hoaks pada tempatnya’ (***)
Discussion about this post