Oleh: Bahren Nurdin, MA
Hingga nanti saatnya dunia ini berakhir, generasi demi generasi akan saling berganti. Umur manusia sangat terbatas untuk tetap bertahan di dunia yang fana ini. Kematian kemudian menjadi garis pemisah dari satu generasi ke generasi lainnya. Itu adalah proses alamiah yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana hal-hal baik tidak pernah berhenti atau dihentikan oleh kematian. Orang-orang hebat terus lahir dan mati, mati dan lahir pada generasi selanjutnya.
Seringkali yang terjadi orang-orang hebat yang pernah lahir dimuka bumi ini kemudian membawa kehebatannya bersama kematiannya. Prestasi dan keunggulannya tidak terwariskan kepada generasi selanjutnya, baik sengaja maupun tidak sengaja. Untuk mendiskusikan hal ini, muncullah istilah generativitas (negativity). Artikel singkat ini hanyalah media ‘brainstorming.’
Kamus Marriam Webster memberikan definisi ‘generativity’ sebagai ‘a need to nurture and guide younger people and contribute to the next generation’ (Kebutuhan untuk memelihara dan membimbing orang muda dan berkontribusi pada generasi berikutnya). Hal ini sangat menarik untuk menjadi perhatian masyarakat saat ini. Saya melihat ada begitu banyak potensi yang dimiliki oleh anak-anak muda saat ini harus ‘pupus’ karena tidak mendapatkan perhatian dari generasi di atasnya. Secara kelembagaan tentunya pemerintah.
Di beberapa kota seperti Bandung, Jogja, Bali, Surabaya, dan lain-lain memang telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah setempat sehingga anak-anak muda di sana mendapat arena untuk melejit dengan berbagai kreativitas yang mereka miliki. Namun sayang di beberapa daerah lainnya, belum tersentuh.
Gagal membimbing dan memelihara generasi muda saat ini itu sama artinya menyiapkan kegagalan pada generasi selanjutnya. Gagal generasi saat ini berkontribusi pada generasi selanjutnya maka tidak menutup kemungkinan akan terciptanya kemunduran peradaban dan kualitas hidup manusia di masa yang akan datang. Think!
Stephen Post, Ph.D dalam bukunya ‘Why Good Things Happen to Good People’ memformulasikan generativitas dengan “beri orang itu ikan dan dia akan makan hari ini; ajari orang itu menangkap ikan dan dia akan makan seumur hidup.” Saya rasa ini sebuah formulasi yang menarik untuk dipasangkan dengan pola pembangunan generasi muda kita saat ini, dari yang formal hingga yang informal. Apakah secara formal sekolah dan kampus telah menerapkan ini? Atau secara informal, pola kehidupan mereka di luar sekolah telah pula dididik ‘mencari ikan’? Atau hanya ‘diberi ikan’?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini sangat menentukan dan memberi warna kehidupan generasi mendatang. Dampak yang dahsyat nantinya terlihat dari pola pikir dan mindset mereka. Jika yang disuguhkan selama ini adalah ‘ikan’ maka tidak menutup kemungkinan akan terbentuk generasi muda yang bermental ‘pengemis’. Mereka hanya bisa meminta tanpa harus bekerja keras dan berusaha untuk mendapatkan sesuatu.
Begitu juga sebaliknya, jika yang diberikan selama ini adalah cara dan kail untuk memperoleh ‘ikan’ maka mereka akan terbiasa untuk mendapatkan sesuatu dengan nilai-nilai perjuangan. Mereka akan menyadari bahwa untuk memperoleh sesuatu harus melalui proses. Siapa yang berani berproses merekalah yang akan mampu mendapatkan yang ia inginkan.
Akhirnya, generativitas sesungguhnya merupakan wadah dan cara yang dapat dilakukan untuk memberi. Memberi yang berkelanjutan dari generasi ke generasi. Kita semua sadar bahwa memberi adalah kekuatan yang paling dahsyat di dunia ini. Semua orang dan semua pihak sudah seharusnya terpanggil untuk memberi dan berkontribusi menyiapkan generasi demi generasi. Semoga.
#BNODOC14223052017
*Akademisi UIN STS dan Praktisi Master Mind-Setting Programming Jambi
Discussion about this post