Oleh: Bahren Nurdin, MA
Pecahnya betrok antara masyarakat Desa Tamiai dengan masyarakat peladang Dusun Muara Pulau di Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci adalah lonceng peringatan untuk ke sekian kalinya bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk menyelesaikan segala sengketa lahan yang dipertikaikan di berbagai wilayah. Tidak perlu kita inventaris berapa banyak korban ‘perang’ antar warga yang berebut hak atas tanah. Telah banyak nyawa melayang, harta benda terbuang, sanak saudara terpisah, disebabkan konflik perebutan tanah yang berkepanjangan.
Bentrokan yang terjadi di Kabupaten Kerinci beberapa hari lalu bisa saja akan terjadi di kabupaten lain di dalam Provinsi Jambi karena pola-pola yang sama dalam kepemilikan tanah juga sedang berlangsung. Jika disederhanakan, kasus ini sesungguhnya adalah pertikaian kepemilikan lahan antara masyarakat peladang yang notabenenya adalah pendatang kontra penduduk tempatan.
Kepemilikan tanah yang didapat oleh masyarakat peladang biasanya melalui beberapa cara, diantaranya, program resmi pemerintah melalui transmigrasi, jual beli antar warga, atau bahkan ada juga yang melalui cara-cara illegal (penyerobotan). Masyarakat peladang biasanya datang dari berbagai daerah menempati suatu kawasan untuk berladang dan berkebun yang kemudian membentuk masyarakat baru hingga menjadi dusun atau bahkan desa. Tidak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu, di beberapa tempat terjadi disharmoni antara masyarakat peladang dengan masyarakat tempatan.
Jika pemerintah daerah (dari provinsi hingga desa) tidak cepat mengatasi masalah seperti ini, diyakini kejadian di Kerinci juga akan pecah di daerah-daerah lain. Ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan.
Pertama, penentuan batas-batas dengan jelas. Persoalan batas wilayah garapan sering menjadi pemicu utama pertikaian antara penduduk tempatan dengan masyarakat peladang. Harus dengan tegas mana wilayah yang boleh digarap oleh peladang dan mana yang tidak boleh karena merupakan tanah ulayat masyarakat setempat. Bentrok yang terjadi karena masyarakat peladang mengolah lahan yang diyakini sebagai tanah ulayat.
Penentuan batas-batas ini tentunya harus sesuai perundang-undangan juga menjunjung tinggi kearifan lokal yang ada. Banyak pihak yang harus terlibat langsung, dari pimpinan daerah (gubernur/bupati/wako), Dinas terkait (Dinas Pertanahan, Dinas Kehutanan, Dinas Kependudukan, dll), sampai perangkat desa, tokoh masyarakat, adat, dan seterusnya. Keterlibatan semua pihak semacam ini diharapkan akan dapat menentukan pembagian lahan garapan masing-masing pihak dengan jelas dan tegas.
Kedua, gesekan sosial budaya. Secara hukum, tentu seluruh warga negara Indonesai dilindungi oleh undang-undang dan berhak untuk mendiami bumi pertiwi ini. Maka dari itu, masyarakat peladang biasanya sangat heterogen (campuran) yang datang dari berabagai daerah. Heterogenitas ini sudah dapat dipastikan akan membentuk kehidupan sosial budaya yang cenderung berbeda dengan penduduk tempatan yang telah ‘mapan’.
Gesekan sosial budaya semacam ini juga diyakini menadi pemicu bom waktu ‘perperangan’ antara masyarakat peladang dan masyarakat tempatan karena dua kelompok masyarakat ini tentunya tidak hidup di ruang hampa tanpa interaksi sama sekali.
Sebagai mahluk sosial, mereka dapat dipastikan akan berhubungan satu sama lain. Yang sering terjadi, dengan heterogenitas yang dimiliki oleh masyarakat peladang, mereka sering ‘melanggar’ tatanan kehidupan soasial juga adat istiadat yang telah bertahun-tahun tumbuh berkembang di tengah masyarakat setempat. Maka sangat perlu pembauran yang lebih ‘matang’.
Akhirnya, artikel ini hanya ingin mengingatkan kita semua, terutama pemerintah daerah di seluruh Indonesia, khususnya di Provinsi Jambi, kasus bentrok yang terjadi di Kabupaten Kerinci adalah ‘alarm’ untuk memberi perhatian khusus kepada daerah-daerah yang memiliki masyarakat peladang. Bom waktu sedang terpasang. Jika tidak ‘dijinakkan’ secepat mungkin, tidak menutup kemungkinan akan meledak kapan saja di mana saja. Alangkah bijaknya jika masalah selesai sebelum pertikaian melanda. #BNODOC8022032017
*Akademisi dan Pengamat Sosial, tinggal di Jambi
Discussion about this post