Oleh: Bahren Nurdin, MA
Jika dicermati dengan saksama, ada salah satu sifat negatif warga negara net (netizen) dalam berdiskusi yaitu sangat mudah mencaci, memaki, ujung-ujungnya mem-bully. Coba perhatikan di berbagai media sosial (sosmed) yang merupakan ‘wadah’ hidup mereka, kata-kata yang diucapkan tidak lepas dari kebencian dan cacian. Apakah ini ‘budaya’ atau penyakit?
Menariknya lagi, prilaku ini ternyata tidak pula dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal (kota atau desa), dan seterusnya. Artinya, kecenderungan mereka sama. Banyak sekali para orang tua yang ‘hobi’ mencaci, para cendikia dan pejabat ikut menghujat, orang kota dan desa juga berkata bringas minus etika.
Dialektika berdiskusi di media sosial agaknya telah mengikis habis nilai-nilai ‘manusia’ pada diri manusia itu sendiri. Atau, karena ketika menulis kata-kata yang diungkapkan mereka ‘merasa’ hanya berhadapan dengan tuts huruf-huruf (keyboard) dan layar monitor belaka. Mereka lupa jika kata-kata itu kemudian akan dibaca oleh ‘manusia’; untuk manusia. Mata yang nanar menatap layar beserta jari-jari yang menari dibiarkan liar tanpa tak terkendali. Akibatnya, hati nurani dikibiri.
Sebagai salah seorang penghuni dunia net, saya terkadang cukup prihatin melihat tingkah pola para warga negara yang sangat hobi mencaci dan memaki itu. Dinamika berdiskusi kehilangan esensi yang hendak dicari. Diskusi-diskusi yang dilakukan selalu saja dibangun diatas ‘kebringasan’ dan ‘premanisme’. Logika yang dimiliki adalah logika sempit ‘kawan – lawan’ dan ‘menang – kalah’. Mengapa saya sebut logika sempit, karena jika bukan kawan mereka harus dilawan untuk mencari ‘kemenangan’.
Salah satu indikator ‘menang’ yang dibuat adalah keberhasilan melihat orang lain (lawan) merasa terhina, terpojok, kehilangan harga diri, dan seterusnya. Kemenangan yang dibangun di atas anyirnya permusuhan. Kemenangan menyisakan dendam tak berkesudahan.
Hidup dan menjadi warga negara net saat ini adalah sebuah keniscayaan. Memang sudah zamannya demikian. Namun hidup dalam kedamaian atau kebencian adalah sebuah pilihan. Ya, saya rasa masih ada pilihan untuk tidak membenci tapi mencinta. Walaupun pilihan ini selalu saja mendapat ‘godaan’ dan tantangan yang besar. Ketika kita hidup di tengah masyarakat yang berbudaya mencaci, perlawanan terbesar adalah ketika kita harus hidup dengan mencinta.
Bagaimana caranya? Pertama, menahan diri. Ini memang tidak mudah. Ketika kata-kata yang tertuju kepada kita dengan sangat kasar dan dibumbui penghinaan, masih bisakah menahan diri untuk tidak melakukan serangan balik? Berat! Karena berat, maka tidak banyak yang mampu melakukannya. ‘Perang’ pun pecah, ada yang berakhir di kantor polisi, bahkan ada pula yang berakhir dengan adu otot; saling bunuh.
Untuk mampu menahan diri, hal utama yang harus dilakukan adalah bersikap tenang dan rileks. Ingatlah bahwa tidak ada perdebatan yang mengedepankan ‘otot’ dapat mendatangkan manfaat baik bagi diri sendiri mau pun orang lain. Kemenangan sesungguhnya ketika kita mampu mengalahkan diri sendiri untuk tidak terpancing menghardik dan mencaci.
Kedua, tidak terprovokasi. Di dunia medsos, pro dan kontra terbuka. Provokasi dan intimidasi terjadi. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dalam menjaga emosi untuk tidak terprovokasi. Ada sebagian orang yang memang hobi meng-adu domba orang lain. Mereka sangat senang melihat orang lain saling berkelahi. Perangkap provokasi ini pun sering dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, baik yang bersifat personal maupun organisasional.
Ketiga, berhentilah. Pilihan terakhir jika anda tidak mampu menahan diri dan takut terprovoskasi, behentilah untuk menanggapi. Pujian dan cacian dibiarkan saja, tidak perlu ditanggapi sama sekali. Resikonya, anda dianggap sombong. Lebih baik ‘dianggap’ daripada sombong benaran. Ternyata lebih asyik menanggapinya ‘off line’. Yang sering saya lakukan, menanggapi pujian dan cacian itu ketika bertemu langsung dengan sahabat-sahabat netizen dalam berbagai kesempatan.
Akhirnya, bisakah berdiskusi tanpa harus mencaci? Bisa, tapi memang diperlukan kemauan yang besar dari netizen. Yakinlah, cacian tidak akan membuahkan apa pun kecuali kebencian dan perpecahan. Berbeda pendapat tidak harus memutus silaturrahim. Berbeda dukungan politik tidak harus panik dan saling hardik. Semoga.
#BNODOC20020072017
*Akademsisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post