Jika diperhatikan dengan seksama, sidang tindak pidana korupsi atas mantan Gubernur Jambi ZZ dengan dakwaan gratifikasi oleh KPK, siapa yang terlibat dengan pendanaan? Pihak pengusaha / swasta alias cukong. Gampang saja, jika pihak swasta sudah terlibat, maka hukum dagang pasti berlaku. Untung dan rugi. Investasi dan tidak mau rugi.
Isu ini juga mencuat dalam diskusi Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jambi beberapa waktu lalu. Ini adalah salah satu jelmaan money politic yang sulit untuk dibuktikan. Ibarat (maaf) kentut, tercium tapi tidak nampak. Aromanya ada di mana-mana tapi tidak tahu dari mana.
Secara matematis, agakanya semua orang bersetuju bahwa politik tanah air kita masih berbiaya tinggi (high cost). Berbagai pengeluaran harus ditanggung oleh para calon kepala daerah, dari alat peraga sosialisasi hingga uang saksi. Dari beli kursi hingga biaya lobi-lobi. Mudah saja, jika pasaran satu kursi 300 juta, untuk memenuhi syarat maju menjadi Gubernur Jambi, dibutuhkan paling kurang 11 kursi, Itu artinya, untuk ini saja sudah harus merogoh kocek 3, 3 milyar.
Ditambah biaya ini dan itu, lantas berapa milyar yang harus disiapkan? Boleh jadi ratusan. Lantas, dari mana uang sebanyak itu harus dipersiapkan? Dari kantong kandidat sendiri? Rasanya, tidak masuk akal sehat. Lebih-lebih, masa jabatan kepala daerah ke depan hanya sampai 2024. Singkat sekali.
Jika tidak mungkin dari kocek pribadi, maka pilihannya adalah ‘gotong royong’ dengan para pemilik modal. Selanjutnya, setelah jadi, akan ada bagi-bagi proyek. Contoh nyatanya, itulah yang terjadi pada beberapa sidang tindak pidana korupsi. Selalu yang terlibat adalah pihak swasta alias kontraktor (walaupun tidak semua dari mereka) Kontraktor yang baik, masih ada.
Apa ruginya bagi masyarakat? Ingat, swasta dipastikan mencari untung. Jika uang yang diberikan oleh pihak swasta sudah terlalu besar apalagi sudah diambil di muka, maka proyek-proyek pembangunan yang mereka lakukan dipastikan asal jadi atau tidak akan sesuai dengan spek yang semestinya. Lihat saja, jalan yang dibangun tidak tahan lama, gedung yang roboh, jembatan yang ambruk, dan lain sebagainya. Ujungnya, rakyat yang menderita.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Akar masalahnya adalah politik high cost. Maka sebenarnya yang mesti terus dicarikan solusinya adalah bagaimana menekan biaya perpolitikan kita saat ini. Sebenarnya, alternatif-alternatif selalu saja terbuka. Untuk menghindari ‘uang kursi’ misalnya, bisa dengan jalur perseorangan. Kandidat tidak pelu pusing dengan ‘mahar’ (walaupun Partai Politik selalu membantah adanya mahar). Untuk menghindari tingginya biaya alat praga (spanduk, baliho, baju kaos, dll) bisa dengan datang langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat. Dan ada begitu banyak cara lainnya.
Selanjutnya, tentu pengawasan dari berbagai pikhak terkait harus semakin diperketat. KPU, Bawaslu, Polri, TNI, Kejaksaan, KPK dll sudah harus memperkuat peran mereka untuk mengawasi proses pilkada di daerah.
Yang lebih penting lagi, pendidikan politik masyarakat juga harus ditingkatkan. Masyarakat harus terus diedukasi untuk menjadi lebih cerdas dalam berdemokrasi. Saya selalu sampaikan, hanya masyarakat yang cerdaslah akan mampu memilih pemimpin yang berkualitas. Masyarakat yang cerdas dipastikan akan menolak politik uang, anti hoax, black campaign, dan lain sebagainya. Mereka akan melihat kualitas dari calon yang akan mereka pilih.
Sudah saatnya kita bicara pilkada yang substantif bukan hanya procedural. Semua pihak harus memainkan perannya untuk mendukung pilkada yang berkulaitas agar tidak terjabak oleh ‘isi tas’. Beri ruang yang sesempit-sempitnya pada para pemodal/cukong politik untuk bermain. Jika tidak, maka pilkada kita hanya akan menjadi komuditas yang selalu diperdagangkan! Berdagang pilkada. Semoga tidak.
*Ditulis oleh: Bahren Nurdin (Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA)).
Sumber Gambar: rubrikbahasa.wordpress.com
Discussion about this post