“…bahwa hasil ISPU di Kabupaten Tebo berada pada range 399 ISPU dengan kategori BERBAHAYA. Berdasarkan kategori di atas, mulai tanggal 12 sd 14 September 2019 kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah PAUD/TK, SD, dan SMP ditiadakan. ….”
Itulah petikan isi Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tebo tanggal 12 September 2019 lalu. Ini adalah contoh dampak langsung bencana asap yang saat ini terjadi di Provinsi Jambi. Karena kabut asap yang membahayakan, kandungan udara tidak sehat dan berisiko terhadap kesehatan masyarakat terutama anak-anak, akhirnya sekolah mereka jadi korban. Mereka kehilangan waktu belajar yang berharga.
Itu di bidang pendidikan. Bagaimana di sektor lain? Kerugian baik materi maupun non materi dipastikan akan lebih dahsyat lagi. Kegiatan masyarakat terhenti, perekonomian juga terganggu. Akankah lebih dahsyat dari tahun 2015? Kita ternyata belum bisa belajar dari kesalahan!
Pertanyaannya, sejauh mana resiko-resiko semacam ini diatasi atau di kelola? Meminjam istilah yang digunakan The Guardian (2012) untuk mengatasi dampak pemanasan global (climate change), ada dua cara yaitu ‘mitigation and adaptation’. ‘Mitigation’ mengatasi masalah dari akar persoalan, sementara ‘adaptation’ adalah cara mengurangi resiko yang terjadi (saat/sesudah bencana berlangsung). Kedua-duanya penting.
Agaknya istilah ini juga cocok digunakan untuk merespon dampak bencana kebakaran hutan dan lahan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi. Itu artinya diperlukan manajemen yang baik. Manajemen pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction — DDR).
Di dunia akademik, sebenarnya persoalan manajemen resiko bencana (baik bencana alam maupun bencana buatan manusia), sudah banyak dilakukan melalui berbagai penelitian dan menenuan teori-teori bahkan masukan juga rekomendasi. Namun sayang, pemerintah di Indonesia dari pusat hingga daerah belum mejadikan kajian-kajian ilmiah sebagai rujukan dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Biasanya, mereka cenderung meletakkan persoalan bangsa semata berlandaskan kepentingan politik, berbasis proyek, dan kemauan sekelompok orang.
Pada tahun 2011, Dr. Janatan Lassa seorang dosen senior dan pakar Emergency & Disaster Management di Charles Darwin University, Australia, sangat komprehensif mengkaji bagaimana menangani sekali gus mengurangi resiko bencana di Indonesia. Dalam penelitian desertasi yang berjudu ‘Institutional Vulnerability and Governance of Disaster Risk Reduction Macro, Meso and Micro Scale Assessment (With Case Studies from Indonesia)’, banyak hal telah dikaji dengan sangat komprehensif.
Sebenarnya, agak terlalu sempit ruang yang tersedia untuk mendiskusikan hasil penelitian di sebuah artikel singkat seperti ini. Namun paling tidak, dari rekomendasi yang diberikan, ada dua poin umum yang kemungkinan dapat diambil sebagai rujukan manajemen pengurangan resiko bencana. Saya kutif langsung bahasa aslinya agar tidak kehilangan makna, sebagai berikut;
Pertama, ‘Specific disaster risk reduction policy reform also depends on other governance variables such as rule of law, regulatory quality, participation, government effectiveness including bureaucracy, and control of corruption’. Itu artinya, harus ada pembenahan dan penguatan peran pemerintah terhadap penegakan hukum, efektifitas pemerintahan, dan termasuk mengontrol korupsi. Ini penting karena selama ini tidak jarang anggaran untuk mengatasi bencana malah dikorup. Intinya, untuk mengatasi bencana diperlukan pemerintah yang bersih dengan manajemen yang terukur. Sudahkah?
Kedua, ‘Disaster Risk Reduction (DDR) actors and institutions in Indonesia need to seriously think about how to improve efforts in local disaster legislation reform while striving equally to reform local and national disaster management bureaucracy’. Para pemangku kebijakan dan institusi yang terkait harus benar-benar menyadari dengan sangat serius pentingnya peraturan (regulasi) mengenai penanganan resiko bencana. Di Jambi misalnya, sudah adakah peraturan daerah (perda) yang berkualitas tentang bencana asap ini? Jika sudah, bagaimana penegakannya? Sudah efektifkah? Diperlukan komitmen!
Dua poin di atas mungkin terlalu umum. Masih banyak lagi poin-poin detil lainnya yang dapat diakses. Belum lagi puluhan karya ilmiah dan penelitian Beliau yang dimuat di berbagai jurnal internasional.
Akhirnya, kabut asap yang saat ini terjadi memerlukan manajemen yang baik untuk mengurangi resiko yang dialami masyarakat. Penelitian-penelitian ilmiah sudah sepatutnya dijadikan sumber kebijakan, tidak melulu menggunakan ‘insting’ politik dan kepentingan proyek. Pemangku kebijkan harus pula memiliki ‘sense of crisis’ bahwa bencana asap ini telah membawa kerugian yang tidak sedikit termasuk terhadap anak-anak sekolah generasi penerus bangsa ini. Pendidikan dan kesehatan mereka dalam ancaman!
Discussion about this post