Pagi ini mentari pagi masih tersenyum menyinari bumi, panasnya terik tapi tidak garang seakan membawa damai tuk mahluk bumi ini. Esy membuka horden dan jendela-jendela putih bersih itu. Dari lantai empat rumah sakit megah kota kota kelahirannya itu, ia menatap nanar keluar jendela.
“Maha Besar Tuhan dengan sgala ciptaan-Nya” ia memuja Tuhan setengah berguman. Dari atas sana ia saksikan burung-buruk caria bermandikan sinar surya nan ceria, gedung-gedung menjulang tersenyum menyapa mega nan putih, mobil-mobil merayap dibawah langit nan biru. Di luar sana orang-orang sibuk dengan segala aktivitasnya.
“Ibu… Abi gak mau disini, abi mau pulang…. Abi gak mau dirumah sakit… Ibu Abi gak mau disuntik… Ibu….” Dari kejauhan rengek Abimayu memecah lamunan Esy. Ya, perawat berparas cantik itu baru tersadar dari lamunan panjangnya dan diam-diam air matanya telah mengalir di pipinya. Esy sedih teringat Abimayu bocah kecil imut itu dan kejadian semalam.
“Esy …. Terserah kamu ! kamu lebih sayang bocah kecil itu atau aku. Kalau kamu sayang aku, kamu gak usah dinas malam ini, kita nonton konser ! tapi kalo kamu tidak mau berarti kita putus….” Klik… suara telepon ditutup Rendy, pacar tercintanya.
Beberapa kali kata-kata itu terngiang di benak Esy, yang membuat air matanya terus mengalir.
“Kau Egois, Rendy …” gumamnya. Yah … walau sudah memasuki tahun ke tiga Rendy tercatat sebagai pacar Esy, namun Rendy gak pernah memahami tugas dan tanggung jawab Esy sebagai perawat di rumah sakit. Kesedihan seperti tadi malam bukan lagi sekali-dua kali dihadapi Esy. Tapi memang Esy adalah gadis yang sabar, manis, cantik, dan penurut. Ia gak pernah merisaukan masalah seperti itu. Pernah suatu ketika ia jelaskan pada rendy sang kekasih.
“Mas….. bukan Esy gak sayang ama Mas, tapi ini tanggung jawab Esy. Mas…” Jelas Esy.
“Kan ada perawat yang lain…? Emang rumah sakit tuh punya kamu …” jawab Rendy.
Kalau sudah demikian biasanya Esy memilih diam. Ia sedih, di dalam hati ia berakata andai Mas Rendy tau betapa berat sumpah dan janji seorang perawat. Ini menyangkut nyawa dan jiwa manusia.
Ia lebih memilih putus dengan Rendy ketimbang harus meninggalkan tugas menjaga Abimayu, Ibu Aminah, Bapak Yanto dan lain-lain. Pasiennya seminggu ini memang banyak sekali semua kamar penuh.
“Si….Si….. cepat panggil Dokter, kamar 207 sedang kritis cepat ya …” Pinta Retno, teman piketnya.
Malam tadi mereka piket lima orang dan semuanya cewek. Cepat-cepat ia raih telpon dan memberitahu dokter Mahendra untuk segera melihat kondisi ibu Ratih yang sedang kritis di ruang 207. Syukur dokter Mahendra sudah dirumah sakit dan secepat kilat sudah berada dikamar pasien.
layanan rumah sakit ini memang sangat memuaskan dalam hal melayani pasiennya. Ya, namanya juga rumah sakit swasta memang tidak sama dengan rumah sakit umum. Rumah sakit umum yang notabebenya dikelola oleh pemerintah biasanya pelayanannya sangat buruk dan tidak memiliki sense of service.
Tapi malang memang tidak bisa ditolak dan mujur tak bisa diraih. Kuasa Tuhan adalah segala-galanya. Kedatangan Dokter Mahendra tidak mampu merubah apa-apa. Tiga menit kemudian keputusan-Nya final dan Ibu Ratih menghadap Sang Khalik. Tangis anak-anaknya pun memecah keheningan ruang itu. Bambang, sibungsu yang baru berumur enam tahun kelas satu SD itu melompat dan memeluk Jenazah ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Mega kelas 2 SMU dan Anto baru selesai di wisuda tiga bulan lalu. Anto hanya bisa melihat adik-adiknya menangis di sisi ibunya.
“Sabar sayang ya… doain aja ibu sayang ya …” Bujuk Esy dan kawan-kawan dikamar itu. Esy pun tak mampu membendung air matanya. Ia menangis sambil melepas sisa infus, mencabut slang oxygen dari hidung ibu ratih, dan melepas selang urine dengan hati-hati.
“Selamat jalan ibu … Doa kami bersama ibu….” Bisik Esy di sela tangisnya, diciumnya pipi ibu ratih untuk terahir kali sambil menutup tubuh ibu ratih dengan kain putih.
Ya begitulah suka duka seorang perawat. Hampir tiap hari ia menangis. Memang tak ada ikatan darah persaudaraan dengan para pasiennya tapi ikatan kemanuasiaan jauh lebih kuat. Nilai-nilai kemanuasiaan yang dilantunkan para perawat rumah sakit ini menembus batas-batas agama, ras, warna kulit, status social, dan sebagainya. Namun disisi lain, di sela-sela bahtera kesedihan itu ia selalu dituntut untuk selalu ternsenyum, ramah, dan tenang. dan tidak jarang pula mereka mendapat caci maki keluarga pasien.
Esy pantaslah menjadi contoh perawat yang berdedekasi. Tidak hanya kecantikan fisiknya tapi kecantikan rohnya yang sewajarnya mendapat acungkan jempol. Ia tidak pernah merasa lelah untuk melayani pasiennya. Ia tidak pernah memilah-milah pasien. Di mata Esy semua pasien sama dan harus dirawat dengan baik. Jika dinas malam hari ia tidak pernah tertidur. Jam berapa pun panggilan dari keluarga pasien pastilah Esy berlari duluan menuju kamar pasien. Senyumnya tulus, ke ramah-tamahannya penuh kekeluargaan. Terkadang tanpa dipinta ia tidak segan-segan bertandang dan mengecek keadaan pasiennya.
Tiba-tiba Ibu HP-nya berdering.
“Si…. Esy…. Cepat ke UGD, Rendy Kecelakaan….” Suara dari seberang melalui telpon PABX dari front office. Ia pun berlari menuju ruang gawat darurat di lantai dasar. Ia berlari kecil, sesampai di depan ruangan ia melihat beberapa teman Rendy duduk di kursi tunggu termanggu stress.
“Gimana Dok Keadaannya….?” Tanya Esy pada Dokter Rosi yang menangani Rendy.
“Gak papa, dia sekarang masih pingsan aja, tapi mungkin ada benturan keras di kepalanya…. Mudah-mudahan sebentar lagi siuman. Tapi langsung aja dibawa ke Ruang ICU ya….” Begitu mendengar penjelasan dokter Rosi, Esy pun mulai menagis. Dengan tangan yang gemetar ia bersihkan sisa-sisa darah kepala, tangan dan kaki Rendy.
“Mas Rendy….. Esy sayang ama Mas…., Mas jangan tinggalin Esy ya….” Sambil menangis didorongnya kereta tempat Rendy terbaring lemas dengan oksigen dan infus di tangan menuju ruang Icu.
“Udah ….. Si… gak usah menangis terus…. Rendy gak papa kok…” Bujuk Diding dan kawan-kawannya, perawat yang sedang bertuas di ruang ICU.
Esy sedih karena gak bisa memenuhi permintaan kekasihnya tadi malam. Esy mulai menyesali dirinya.
“Maafin Esy Mas ya…. Esy….” Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Berulang kali diciumnya kening pemuda itu.
Tiga hari sudah Rendy di ICU dalam keadaan koma. Tiga hari pula Esy harus bolak balik ruang ICU dan ruang tugasnya di lantai empat. Keadaan pasien kecilnya Abimayu pun semakin memburuk. Hati Esy benar-benar sedih. Anak kecil itu terus memanggil namanya. Anehnya bocah cilik itu benar-benar diam bila dipangkuan Esy. Mungkin senyum tulus gadis itu bagai angin surga bagi Abimayu.
“Abi….. Kakak lihat om Rendy dulu ya …. Entar tante sini lagi ya …” dibujuknya anak kecil nan imut itu. Panas badannya tinggi. Kadang-kadang matanya terpejam, ibunya telah kehabisan air mata menangisi anak simata wayangnya itu. Anak itu tidak lagi mampu menangis. keadaannya memburuk. Esy sebenarnya tidak tega meninggalkan Abi tapi mungkin di ruang ICU kekasihnya juga membutuhkan jiwanya walau sampai saat ini Rendy belum siuman.
Dari keterangan teman Rendy, malam itu Rendy stress banget. Rendi kebut-kebutan di jalan raya, Rendy luka parah. Motor Mega pro yang ditungganginya menabrak mobil Truck yang sedang parkir di pinggir jalan. Rendi mabok saat itu, kepalanya geger terbentur bak truck, tengkoraknya retak, kaki kanannya patah.
Dengan berat hati ia tinggalkan si Abi kecil menuju ruang ICU, dari lantai 4 ia telusuri anak tangga rumah sakit itu. Ia lagi gak mood naik lift. Sambil melangkah menelusuri anak tangga satu persatu ia saksikan wajah-wajah sedih keluarga pasien. Berapa dana yang harus mereka kelaurkan untuk keluarga yang sedang sakit ? Pasti jutaan rupiah karena saat ini harga rumah sakit melambung tinggi. Masuk rumah sakit sama dengan harus jual ini dan itu, atau hutang sana dan sini. “Kesehatan itu mahal”, bisiknya dalam hati.
Sampai dilantai dua HP-nya berdering.
“Esy…. Abimayu meninggal …. Kamu sini dulu” suara Retno terbata-bata disela tagisnya. Kami semua menyayangi adik kecil itu. Esy pun berlari kecil kembali ke lantai empat.
Tapi ….. baru sampai lantai tiga Hp nya kembali berdering.
“Esy…. Kamu dimana nak…..” suara mama Rendy terdengar parau dan putus-putus….
“Esy …. Rendy….Rendy…..” terputus lagi
Esy bermenung di depan tangga dilantai tiga.
Di lantai empat Abimayu baru saja meninggalkannya, diruang ICU ada kekasihnya yang…..
“Rendy….meninggal nak….” Suara Mama Rendy pecah beserta tangisnya.
Ia bingung harus berbuat apa…. Ia menangis. Dilantai empat ada tanggung jawab sebagai suster dan lantai dasar ada tanggung jawab sebagai kekasih.
“Tuhan….beri kekuatan untuk hamba-Mu yang lemah ini” do’anya sambil berlari menuju Abimayu. Diciumnya wajah mungil nan pucat itu.
“Sayang…. Maafin tante ya” air matanya membasahi kening Abi kecil. Ia pun berlari menuju lift. Tangisnya lebih tidak terbendung lagi ketika melihat jenazah Rendy di dorong menuju Ambulance. Dipeluknya raga berselimut kain putih itu. Dikecupnya wajah pucat itu dengan kesedihan tiada tara.
“Mas Rendy… Maafin Esy ya…. Esy Sayang Mas Rendy…” Ambulance berlalu bersama duka. Esy terkulai lemas bersandar di dinding rumah sakit menyaksikan ambulance berlalu dari hadapannya.
Dua nadi telah berhenti. Selamat jalan Mas Rendy, selamat jalan Abi kecilku. Mentari esok menantiku dan jiwaku nan tulus (Bhn).
Theresia, 10 Agustus 2006
Discussion about this post