Dinamika politik di tanah air terus terasa semakin memasnas. Daya magnetik Pemilu 2009 yang semakin dekat, mengisi semua ruang pragmatisme pencari kekuasaan, untuk menjadi pemenang dalam medan pertempuran. Opini publik seakan tak pernah bosan untuk menyantap fluktuasi drama politikus, seakan bincang politik memiliki candu yang tidak mengenal rasa bosan membincangnya. Meskipun kadang, bincang politik berakhir dengan sikap apatisme, mengingat medan politik di tanah air sekarang, sudah menjadi arena laga kapitalistik, karena semua tergantung ketersediaan modal. Seolah uang menjadi tuhan baru dalam game politik. Siapa yang kuat aminusi rupiahnya, itulah calon kuat pemenang di medan laga.
Di antara isu politik yang mencuat adalah soal calon presiden setelah kekuasaan SBY mencapai batas akhir waktunya . Bincang calon presiden bahkan menerewang para pelaku politik, baik dari tokoh tingkat nasional maupun lokal. Disini yang menarik, karena, untuk di tingkat lokal, Jambi khususnya, ada ”penerawangan” yang mencoba melihat sejauh mana kelayakan tokoh Jambi untuk diusungkan memasuki ring calon Presiden di masa mendatang. Bagi masyarakat Jambi, seakan ada secercah cahaya harapan dalam senyum sejarah, jika sendainya ada diantara putra Jambi yang berhasil menduduki krusi pertama RI tersebut. Walau, terkadang, isu itu terkesan hanya seperti mimpi di saat terjaga.
Dalam sebuah website berita lokal, infojambi, ada sebuah polling yang mencoba melihat isu itu dalam realitas publik Jambi, dengan mengusung sebait pertanyaan, bang Zul (Zulkifli Nudin) dicalonkan jadi Presiden RI, Menurut Anda?” Inilah pertanyaan yang terasa menyindir, tapi menantang. Dari polling ini, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat Jambi, tepatnya pengunjung wisata maya website tersebut, (update coraktanggal 25 November 2008) dari 1030 pemilih, 66.1% (681 pemilih) menyatakan tidak layak, 29.9% (308 pemilih) menyatakan layak, dan yang lainnnya, 4% (41 pemilih) menyatakan tidak tahu. Diakui memang, dari hasil polling ini tidak memenuhi unsur-unsur ilmiah dari sebuah penelitian, karena tidak bisa dijadikan pijakan untuk menentukan sebuah policy atau judgment dari aturan ideal sebuah polling. Akan tetapi polling semacam ini paling tidak, boleh dijadikan sebagai rujukan view of reality yang mewakili pandangan umum masyarakat awam, tentunya selain akademisi, politisi, ekonom dan seterusnya.
Angka 66.1% dari pemilih tersebut, adalah suara yang sangat ‘lantang’ menyatakan bahwa Bang Zul tidak layak dijadikan kandidat presiden Republik Indonesia. Agaknya fakta ini merupakan raelitas yang anomalik, ketika masyarakat Jambi tidak menginginkan orang sedang memimpin daerahnya menjadi Prediden. Mengingat, biasanya faktor emosi tribalitas yang bercorak keesukuan dan kedaerahan masih mengental dalam tolak ukur memilih pemangku kekuasaan di bumi pertiwi. Jangankan menjadi presiden, menduduki kursi menteri saja rasanya cukup mewakili ruang emosionalitas yang sangat membanggakan. Nyatanya, masyarakat Jambi mungkin berbeda dari daerah lain di Indonesai. Sebuah diskursus yang lumayan joki, ketika seorang pememimpin yang telah lama mengabdi di daerahnya, malah dianggap tidak layak menjadi Presiden oleh rakyatnya sendiri. Sebuah pertanyaan yang menantang untuk diselidiki dan menarik untuk ditelaah dengan beberapa pandangan.
Pertama, rakyat Jambi sudah semakin matang dan objektif falam berpolitik. Polling ini menunjukkan bahwa rakyat Jambi tidak lagi terbuai oleh panatisme kedaerahan. Artinya asal putera daerah yang mau jadi pemimpin, kita dukung. Ternyata tidak demikian, karena meraka masih berkata jujur dan melihat sebuah realitas dengan sangat objective (walau pun ini perlu penelitian lanjutan). Hal ini diyakini selaras dengan pepatah Jambi yang menuturkan ”jangan sampai menegakkan benang basah, membangkitkan batang terendam”. Artinya tidak akan membela yang salah dan tidak akan mengiyakan yang seharusnya tidak.
Kedua, beberapa kasus korupsi yang mencuat kepermukaan di era kekuasaan bang Zul, seperti kasus mess Jambi yang sampai saat ini masih menyimpan kecurigaan dan pertanyaan akan kemungkinan keterlibatannya dalam kasus tersebut, menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan bang Zul. Kasus ini paling tidak, sudah menunjukkan bahwa bang Zul lemah kontrol dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ini terbukti beberapa pejabat dibawahnya telah menjadi tersangka korupsi.
Ketiga, program pemberdayaan masyarakat yang menyangkut hak hidup orang banyak seperti pendidikan juga tidak dapat dirasakan kemajuannya oleh masyarakat Jambi (kalaupun ada, tidak signifikan). Setiap tahun ada saja berita-berita miris tentang pendidikan. Program perekonomian kerakyatan, seperti program peremajaan karet rakyat sampai hari ini belum bisa dibanggakan, karena proses dan hasilnya bahkan cenderung memilukan. Program patin Jambal terus bermasalah dengan dengan pemasaran dan hutang petani, dan seterusnya.
Keempat, adanya kecenderungan untuk mengekalkan dinasti ”nurdinisme” di daerah Jambi. Aroma pengekalan dinasti nurdinisme semakin tampak dalam kapanye pemilihan walikota Jambi beberapa bulan yang lalu. Belum lagi kuatnya aroma bandar modal politik dalam setiap pilkada di kabupaten di propvinsi Jambi yang dilakukan oleh keluarga dan kroni bang Zul. Kemenangan Sum Indra dan posisinya di nomor dua dalam pemerintahan kotamadya, bisa dijadikan justifikasi akan proyek ”kekaisaran” dan kecenderungan cengkaraman dinasti tadi.
Kelima, seloko Jambi mangatakan “ambik contoh yang telah sudah, ambik tuah kepado yang menang” Artinya, selama Bang Zul memimpin Jambi dua periode terakhir, belum ada yang dapat dibanggakan oleh masyarakat Jambi. Mereka belum melihat ada contoh yang baik (pembangunan provinsi Jambi ke arah yang lebih baik), atau tuah (prestasi-prestasi di tingkat nasional dan internasional) yang dapat dibanggakan. Bang Zul belum mampu membuktikan kemana arah pembangunan provinsi Jambi ke depan. Sebagai daerah yang selalu berseloko “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi kitabullah” nampaknya ambigu dengan selokonya. Yang terlihat adalah, pemandangan perkantoran gubernuran yang selalu sesak dengan aktivitas hedonistik anak muda Jambi di sore hari, bahkan mungkin menjadi tempat mesum yang terbuka dan menjadi tontonan gratis bagi rakyat kota Jambi. Bagaimana mungkin berharap untuk menutup lokalisasi prostisusi yang telah menjadi virus berbahaya bagi masyarakat Jambi, mencegah adegan syahwat di arena perkantoran saja tidak mampu. Adalah sesuatu yang nisbi, ketika berharap sesuatu kepada orang yang tidak memiliki. Karena, pepatah mengatakan, ”jangan berharap kail sejengkal, mampu memancing ikan besar di lautan lepas”.
Semua pointer di atas, hanya sebatas analisa picisan anak rantau yang mencoba merindukan pemimpinnya dari kajauhan. Karena terjemahan rindu akan kampung halaman, kadang harus dibahasakan dengan sebuah kritik konsturktif kepada penguasanya. Kami yakin, bahasa cinta tidak selamanya tepat jika diungkapkan dengan pujian indah kata-kata, karena pujian kadang menenggelamkan objeknya dalam fantasi semu yang seringkali menghilangkan alam sadar.
Akhirnya, dalam realitas politik tanah air, semuanya memiliki kesempatan untuk berkuasa. Sederet nama calon presiden yang diusungkan pelbagai media, agaknya membagkitkan kecemburuan dan sentimen kedaerahan. Mengingat, watak tribalitas moderat merupakan hal yang absah selama masih dalam koridor profesionalisme. Jadi, cita-cita ”bang Zul for Presiden” bukanlah ungkapan yang terperangkap dalam taqdir kemustahilan, karena kata Barac Hosein Obama ”yes we can”, yang bermakna ’ya, kami bisa’
*Kolaborasi Bahren Nurdin dan Hermanto Harun, Dosen IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Master & Doktor Universitas Kebangsaan Malaysia.
Discussion about this post