Oleh: Bahren Nurdin, MA
Membahas persoalan prostitusi (pelacuran) memang tidak ada habis-habisnya. Masalah ini kemungkinan akan kelar ketika Israfil mulai beraksi meniup Sangkakala. Bisnis ‘kenikmatan’ ini agaknya belum akan berhenti jika yang meniup trompet (lapri) itu masih Polisi atau Pol PP. Priiit…
Apa yang terjadi di Kota Jambi misalnya, praktek prostitusi bahkan masih ‘booming’ di bulan suci Ramadhan. Lebih heboh lagi, salah satu mucikari yang diciduk polisi adalah oknum mahasiswa. Pertanyaan selanjutnya, adakah korelasi langsung antara prostitusi dengan bulan suci? Hehe. Maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah bahwa prostitusi merupakan ‘penyakit’ (psikologi) masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘pekat’. Jika ia merupakan penyakit, maka tentu ia boleh menyerang kapan saja, siapa saja dan di mana saja.
Maka dari itu, prostitusi itu harus dilihat dari dua faktor utama; personal (pribadi) dan sosial. ‘Serangan’ yang dilancarkan oleh penyakit ini pun melalui dua ‘jalur’ ini. Jika salah satunya lemah maka dapat dipastikan akan terserang. Tapi, saya melihat diri pribadilah (mindset) yang paling rentan mendapat serangan.
Jalur personal adalah diri pelaku (penikmat dan penyedia layanan). Sama-sama diketahui bahwa manusia itu dibekali Allah dua potensi di dalam dirinya yaitu, potensi baik (taqwa) dan potensi negatif (fujur). Adalah pilihan masing-masing pribadi manusia itu sendiri untuk mengembangkan dua potensi ini. Ya, pilihan. Silahkan memilih sendiri dan pertanggungjawabkan sendiri di hadapan Sang Pencipta.
Para pelaku prostitusi memilih untuk mengembangkan potensi ‘fujur’ dalam dirinya. Tunduk dan sujud di bawah kuasa nafsu syahwatnya. Sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa para pelaku mengetahui bahwa perbuatan zina itu tidak baik dan melawan kodratnya sebagai hamba Allah. Allah melarang keras dengan menempatkan perbuatan ini sebagai dosa besar. Para pelaku dosa besar itu tempatnya neraka. Namun, pengetahuan mereka akan ini tidak lantas membuat mereka berhenti melakukannya karena ada ‘penyakit’ yang bercokol di dalam diri mereka.
Banyak orang kemudian yang ‘mengkambing-hitamkan’ faktor ekonomi, sosial, keluarga, pertemanan, lingkungan dan sebagainya. Jika pun iya, saya rasa faktor-faktor ini tidak lebih dari sekedar faktor pendukung (supporting factor). Faktor utamanya adalah diri sendiri (psikologi). Persis seperti penyakit pilek, hanya orang-orang yang imannya lemahlah kemudian yang terserang flu karena perubahan cuaca. Sementara yang lain, santai saja.
PUSAT REHABILITASI
Istilah Pekat (penyakit masyarakat) untuk praktek prostitusi sudah lama digunakan. Artinya, kesadaran masyarakat (society awareness) sudah terbangun sejak lama bahwa prostitusi itu ‘penyakit’. Anehnya, walaupun sudah dinyatakan ‘penyakit’, sampai detik ini belum disediakan rumah sakit yang khusus mengobati para penderita penyakit ini.
Seharusnya, karena prostitusi adalah penyakit maka untuk menyembuhkan ‘pasien’ yang terjangkit penyakit ini harus ditangani secara serius dan intensif. Maka sudah seharusnya dibuatkan ‘rumah sakit’ khusus berupa ‘Balai Rehabilitasi’. Di beberapa daerah memang sudah ada balai ini namun terkesan masih belum maksimal. Ada pula yang hanya disatukan dengan panti sosial. Padahal yang diperlukan saat ini adalah betul-betul badan khusus ‘Balai Rehabilitasi’ layaknya pecandu narkoba. Ingat, para ‘pecandu’ prostitusi ini prinsipnya sama dengan para pecandu narkoba walaupun dalam bentuk prilaku yang berbeda. Tapi yang jelas sama-sama ‘sakaw’.
Panti sosial yang selama ini dijadikan ‘puskesmas’ para pelaku prostitusi yang terjaring razia menurut hemat saya sudah tidak lagi efektif. Lebih-lebih, mereka yang tertangkap kemudian didata dan disuruh pulang. Itu sama halnya, ada orang sakit gigi datang ke puskesmas, ditanya nama dan alamat, kemudian disuruh pergi. Tidak diberi obat dan tidak diobati sama sekali. Dapat dipastikan, mereka pergi tetap dengan penyakit yang diderita. Bisa-bisa penyakitnya tambah menjadi-jadi. Aneh!
Itulah yang terjadi selama ini. Belum ada proses penyembuhan yang benar-benar serius dilakukan terhadap para ‘pecandu’ birahi ini. Hal ini, tentunya tidak hanya berlaku bagi para penyedia layanan (supply) tetapi juga bagi para pelanggan setia (demand). Karena sesungguhnya mereka sama-sama ‘sakit’ (jiwa). Siapa pun yang tertangkap, rehab!
Akhirnya, apa pun namanya, penyakit hanya bisa sembuh jika diobati. Prostitusi merupakan penyakit bahkan bisa menjadi wabah yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Daya rusaknya di tengah masyarakat juga tidak kecil. Para ‘penderita’ sudah harus ditangani dengan baik dan intensif. Maka, balai rehabilitasi sudah harus digagas dan direalisasikan!
#BNODOC16111062017
*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post