Gong sayambara telah dipukul sebagai penanda pemilihan raja dimulai. Ini adalah negeri antah barantah. Raja dipilih melalui sayambara dengan cara yang sangat mudah yaitu para peserta yang ingin ikut sayambara dan mencalonkan diri sebagai raja harus memasang foto mereka sepanjang jalan yang telah ditentukan oleh panitia sayambara.
Sebenarnya pemilihan raja tersebut masih setahun lagi, panitia sayambara telah memulainya demi persiapan yang matang agar terpilih raja yang baik yang dirindukan oleh negeri itu. Ya, ternyata negeri itu sedang merindukan seorang figur pemimpin yang baik.
”Bukankah raja kita sekarang juga baik?” tanya seorang anak kecil kepada ayahnya.
”Bukankah mesjid tempat kami mengaji itu dibangun oleh raja kita, ayah? Bukankah desa tetangga juga pernah mendapat bantuan raja kita? Dan kata teman saya, raja kita adalah yang paling suka membantu rakyat kecil negeri ini. Apa dia kurang baik ayah?” Tanya anak itu bertubi-tubi.
”Ya, kamu benar. Raja kita saat ini memang baik. Kamu harus belajar melihat kebaikan orang dan lupakanlah segala kejelekannya. Apa lagi kejelekan seorang raja. Tidak perlu kamu ingat. Dan kamu harus ingat bahwa orang besar itu kesalahannya juga besar. Kamu pernah mendengar cerita Robinhood? Nah itulah raja kita.
”Siapa Robinhood, Ayah?” tanya anaknya penasaran.
”Sudah, kamu belajar sana. Suatu saat kamu akan tahu siapa itu Robinhood.
”Tapi…. ”
”Oke, Bapak kasih tahu ya. Robinhood itu perampok hebat yang baik hati. Merampok rakyat dan hasilnya disumbangkan kepada rakyat…jadi itulah yang disebut dengan selogan ’Dari Rakyat Untuk Rayat’”
”Kalau begitu nanti saya juga mau jadi Robinhood ya ayah” Jawab anak itu lugu
”Boleh, tapi kamu hurus pintar dulu, biar merampoknya tidak ketahuan orang” Jawab ayah bijaksana.
”Pakai topeng saja seperti ayah, haa..aa” sambil berlari meninggalkan ayahnya.
Setelah anaknya berlalu sang ayah pun kemabli masuk kedalam pikirannya. Ia bergulat dengan segala pikiran gilanya. Gila, karena ia sebenarnya diam-diam juga ingin mendaftarkan diri sebagai peserta sayambara tersebut.
”Mungkinkah badut jadi raja?” Pertanyaan itu keluar beratus kali dalam pikirannya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan sederhana itu. Tapi memang dasar badut beberapa menit kemudian dia tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Diambilnya topeng monyet yang sering ia kenakan saat menjadi badut menghibur anak-anak di setiap kesempatan. Dikenakannya topeng itu dan ia berdiri di depan kaca besar sambil memperhatikan dirinya dan kemudiannya dia tertawa lagi terbahak-bahak. Dasar badut!
”Aku harus jadi raja..!” dia berteriak sekeras-lerasnya yang mengagetkan isterinya yang sedang masak di dapur. Isterinya berlari menghampirinya.
”Ayah telah memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai raja, bu.”
”Apa..?” tanya isterinya melongo terheran-heran melihat tingah suaminya.
”Ya. Apa ibu tidak mau menjadi permaisuri? Sudahlah permaisuriku. Jangan khawatir. Ayah pasti jadi raja.
Sang Badut pun berlari sekencang-kencangnya meninggalkan isterinya yang tetap saja tak percaya tingkah suaminya tersebut. “Ah, namanya juga badut” gumam isterinya. Unpredictable.
Benar saja seminggu kemudian foto sang Badut mulai terpampang besar di setiap perempatan jalan negeri itu. Foto itu sengaja ia pasang pada malam hari bersama ratusan anak buahnya.
Pagi itu adalah pagi yang menggemparkan. Rakyat negeri itu seakan baru sadar dari lamunan panjang melihat foto sang badut. Semua rakyat negeri memberi komentar tidak terkecuali sang raja yang sedang memimpin. Di istana diadakan rapat istimewa untuk membahas hal tersebut. Panitia sayambara dipanggil oleh raja dan panglima.
“Bagaiman bisa badut mendaftarkan diri menjadi raja? Itu tidak mungkin” Tanya raja kepada ketua panitia sayambara sambil berdiri dengan muka merah dan marah.
“Maaf tuan raja. Dia tidak mendaftar melalui panitia. Dia semalam memasang foto itu tanpa sepengetahuan kami para panitia sayambara.
“Kalu begitu, hancurkan saja foto-foto itu” Bentak sang raja berang. Tak lama kemudian ruangan menjadi sangat hening padahal ada banyak orang di dalam ruang rapat kerajaan itu.
“Tuan raja yang mulia…” Penasehat kerajaan mulai angkat bicara.
”Hamba rasa itu bukan tindakan yang tepat. Semua rakyat sudah melaihat foto-toto itu. Hamba dengar tadi semua rakyat negeri in sudah sibuk membicarakan foto si badut itu. Jadi, menurut hamba jika kita turunkan foto itu, akan membahayakan reputasi tuan…”
”Bagaimana bisa?” potong sang raja
”Rakyat juga tahu bahwa salah satu dari calon raja yang sudah resmi mendaftarkan diri adalah dari keluarga kerajaan. Jadi, jika foto itu kita hancurkan rakyat akan marah. Apa lagi jika mengetahui itu perintah tuan”
Sang raja menganguguk-anggukkan kepala. Emosinya tampak menurun. Ruangan kerajaan itu pun mulai terasa bersemi dari kegersangan cara berpikir sang raja. Walau memang orang-orang yang ada di dalam ruangan itu sangat memahami akhir-akhir ini sang raja mudah naik darah dan marah-marah. Sudah banyak pula petinggi istana yang tiba-tiba ia pecat. Ia berhentikan dari jabatannya. Pejabat istana saat ini eksra hati-hati menghadapi sang raja. Termasuk kejadian hari ini.
”Jadi selanjutnya bagaimana?” Tanya sang raja.
”Begini tuan, menurut hamba lebih baik kita panggil saja badut itu ke istana. Kita bujuk saja dia untuk menurunkan fotonya itu sendiri. Kita beri saja ia tambahan modal untuk menjadi badut.” Ternyata hanya penasehat kerajaan yang berani angkat bicara menghadapi raja. Itu pun penasehat kerajaan yang umurnya jauh lebih tua dari sang raja.
”Baik, saya setuju. Malam ini juga si badut itu harus menghadap saya. Semua penasehat kerajaan dan panitia sayambara harus ikut. Rapat ini saya tutup” Sang raja pun berlalu menuju ruang pribadinya.
Semua peserta rapat masih duduk dengan tenang.
”Saya mohon bantuan penasehat kerajaan untuk menemani saya ke rumah si badut itu. Saya khawatir ia menolak undangan sang raja. Dan itu akan memperburuk suasana” Pinta ketua panitia sayambara.
”Baiklah. Tapi kepergian kita kerumahnya harus dirahasiakan. Jangan sampai rakyat mengetahui rencana kita ini” Jawab penesahat kerajaan. Ia penasehat senior yang hampir menemui masa pensiunnya. Dia sudah hampir sepuluh tahun mendampingi sang raja. Jadi dia sudah hapal benar semua tabi’at sang raja.
Semua peserta rapat membubarkan diri dan keluar dari ruang rapat istana dengan muka yang kusut. Ya. Itu adalah resiko menjadi pejabat kerajaan. Termasuk sang raja sendiri. Dulu ia dipilih oleh rakyat terutama ibu-ibu muda, anak-anak gadis dengan alasan karena kegantengan sang raja.
”Yang penting kita punya raja gagah” Kata mereka saat itu. Tapi setelah hampir sepuluh tahun ia menjadi raja nilai ganteng itu mulai pudar. Mukanya yang dulu kencang dan bersinar, sekarang keriput dan kusam. Gurat kelelahan sangat terlihat di wajah sang raja. Dulu tak ada kantung air di bawah matanya, sekarang kantung itu seakan menampung air mata kesedihan sang raja yang sering jatuh ke dalam. Jadi raja di negeri itu membuat wajah hancur dan buruk. Tapi perut sang raja dan pejabat kerajaan semakin besar sebagai lambang kemakmuran. Makmur karena memakan hak rakyat?
Benar saja sesuai jadwal yang telah ditentukan sang Badut pun mau diundang ke istana walau telah melewati perdebatan panjang dengan utusan istana yang menjemputnya.
”Saya belum saatnya ke Isatana Kerajaan” jawab si Badut mula-mula menolak. Tapi karena itu adalah undangan sang raja manalah mungkin ia menolak. Rakyat harus tunduk pada pemimpinnya. Tapi rakyat negeri itu juga diajarkan bahwa ’Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah’ . Tidak haram untuk melawan raja apa lagi kalau raja itu lalim terhadap rakyatnya.
”Badut, siapa namu?” Tanya raja wibawa setelah rapat istimewa itu dibuka oleh penasehat kerajaan.
”Hamba tuanku raja. Hamba lupa nama hamba. Tapi orang memanggil nama hamba sesuai pekerjaan hamba yaitu badut, tuan” Jawab si badut sopan, tegar, sedikit beribawa menghadapi sang raja.
Sepintas, lebih-lebih saat ini, ia tidak nampak seperti badut yang identik dengan wajah lucu, memakai topeng, bermain dengan anak-anak. Dari pakaiannya saja, ia memakai peci putih, baju putih, celana panjang yang harga mahal. Ternyata sejak ia memasang fotonya sebagai calon raja ia telah menghabiskan uang banyak untuk membeli pakaian ala pejabat. Bahkan saat menghadap raja kali ini pun ia tidak kalah wibawa degan pejabat kerajaan yang hadir.
”Apa benar kau seorang badut? Apa benar akan mengikuti sayambara pemilihan raja negeri ini?” Tanya sang raja sadikit ragu dengan penampilan sang badut. Tak ada sedikitpun tergurat bahwa dia seorang badut.
”Ampuni hamba tuanku. Benar, Tuan. Hamba telah mempersiapkan jiwa dan raga untuk mengabdikan diri kepada negeri ini, tuanku. Hamba telah memasang foto hamba di sepanjang jalan negeri ini. Tuan boleh melihat foto hamba.” Sambung badut polos dan jujur.
”Apa kau sanggup memimpin negeri ini? Kau kira memimpin negeri ini sama mudahnya dengan memainkan topengmu?” Tanya sang raja setengah mengejek, mulai naik darah.
”Ampun tuanku, bukan hamba ingin beradu argumen dengan tuan. Namun, kok dulu dulu kaki salah langkah, dulu tangan salah lembai, dulu kata salah ucap, maafkan hamba.” Sang badut mulai berkata bijak. Dan keraguan raja akan ’kebadutannya’ tambah besar. Mana mungkin seorang badut berkata sebijaksana itu. Sang raja diam-diam seakan memetik pelajaran dari sang badut. Benarlah ternyata manusia tidak boleh memandang rendah siapapun. Apa lagi memandang rendah propesi orang lain. Di balik semua kerendahan seseorang ada kelebihan yang dititipkan Tuhan.
”Apa alasanmu untuk menjadi raja negeri ini” Tannya raja semakin penasaran.
”Ampun tuanku. Selama hamba bertahun-tahun menjadi badut, hamba terkadang menangis menyaksikan rakyat negeri ini. Hamba bisa menyimpulkan bahwa bagi rakyat negeri ini tertawa sudah menjadi barang langka dan mahal harganya. Hamba menyaksikan betepa rakyat negeri ini sudah sangat sulit untuk tertawa. Bukankah tuan juga tahu, dua hari lalu longsor menimpa negeri sebelah timur. Banjir melanda negeri sebelah barat. Di utara semua petani gagal panen. Jadi negeri ini sudah tidak mampu tertawa lagi. Hamba khawatir negeri ini akan menjadi negeri orang setres, tuan ku raja…”
”Cupup..! itu berarti kau ingin mengatakan bahwa aku tidak berhasil menjadi raja?” Bentak sang raja tambah berang.
”Ampun tuanku. Bukan itu maksud hamba. Tuan sudah sangat berhasil membuat negeri ini makmur dengan segala ’kemakmurannya’. Hamba ingin berbuat lebih baik lagi. Hamba akan membuat rakyat tertawa. Lagi pula tidak ada larangan dan peraturan bahwa badut dilarang mencalonkan diri menjadi raja. Mohon do’a restu Tuanku” Badut masih bijaksana. Kata-kata itu seharusnya membuat raja tambah marah. ’kemakmuran’ yang ia maksud sebenarnya makmur bencana, makmur kemiskinan, makmur kemaskiatan, makamur pertikaian, dan lain-lain. Tapi sebaliknya sang raja tersnyum mendapat ’pujian’ dari badut tersebut.
”Bagaimana penasehat?” Tanya sang raja. Selama dialog antara raja dan si badut ternyata hampir semua pejabat istana terkasima melihat kewibawaan sang badut. Ternyata badut juga bisa serius. Bisa juga konyol. Bisa menangis. Bisa tertawa.
”Hamba rasa, nanti rakyat jualah yang akan menentukan. Menurut hamba kita restui saja pencalonan dirinya. Keputusan ada di tangan rakyat.” saran penasehat kerajaan.
”Baiklah kalau begitu. Aku restui kau mencalonkan diri sebagai raja. Tapi ingat, jangan mencurangi lawan-lawan politikmu” Pesen sang raja sambil menutup rapat istimewa tersebut. Kerajaan gempar hanya ulah si badut yang nekat.
Sayambara pemilihan raja masih setahun lagi. Akankah badut itu menjadi raja? Rakyat negeri itu sedang menanti jawabannya.
Jambi 8 Januari 2008 (04:00)
Discussion about this post