Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ibu memiliki fasilitas istimewa dari Allah untuk menjalin ikatan bathin yang erat dengan anak-anaknya. Paling tidak ada tiga yaitu, mengandung, melahirkan dan menyusui. Tiga fase ini secara alamiah telah menciptakan jalinan emosional yang amat erat antara ibu dan anak. Pada saat mengandung, selama sembilan bulan anak berada di dalam rahim ibunya. Selama itu pula kebutuhan makan dan minum anak dipenuhi melalui ibu.
Ada satu kesatuan yang erat selama masa ini. Mereka berbagi makanan melalui tali pusar yang tersambung selama 24 jam. Apa yang dimakan ibu, itu juga yang ‘disantap’ oleh sang anak. Tidak jarang pula si cabang bayi ‘meminta’ kepada ibunya makanan dan minuman yang macam-macam (ngidam). Betul-betul satu keinginan dan satu rasa. Ikatan emosi ini tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apa pun. Itulah mengapa sampai kapan pun jalinan batiniah seorang ibu kepada anak tidak bisa dipisahkan.
Begitu juga halnya pada saat melahirkan. Pada fase ini seorang ibu harus berjuang hidup dan mati. Pada prosesnya, perjuangan itu tidak hanya dilakukan oleh ibu, tapi anak yang berada di dalam kandungan juga ikut berusaha ‘mati-matian’ menemukan dunia baru yang telah menanti; lahir. Ibu mengerang rasa sakit, anak meronta dari rahim. Perjuangan selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari itu memberikan komunikasi yang kuat antara anak dan ibu.
Setelah melewati perjuangan tersebut, hubungan itu tidak serta merta berakhir. Paling tidak selama dua tahun sejak kelahirannya, seorang anak mendapat asupan Air Susu Ibu (ASI). Air susu yang ‘suling’ langsung dari sumbernya. Proses menyusui ini juga merupakan fasilitas yang diberikan Allah secara alamiah untuk terciptanya jalinan bathin yang yang erat.
Pertanyaanya, bagaimana dengan ayah? Secara alamiah ayah tidak memiliki fasilitas seperti yang dimiliki oleh ibu. Ayah tidak mempunyai media untuk bersentuhan langsung dengan anak-anaknya lebih dari mencium dan membelai. Tidak punya kesempatan merasakan menangis dan berjuang bersama sperti ibu saat melahirkan. Lantas apa yang bisa dilakukan?
Pertama, cebokin anakmu. Boleh jadi dengan berbagai alasan banyak ayah yang merasa jijik untuk mencuci kotoran anaknya (cebokin) ketika buang air besar. Padahal sesungguhnya inilah salah satu fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk menjalin ikatan emosional dengan anaknya. Alam bawah sadar anak akan selalu mengingat sampai kapan pun betapa ayahnya telah melakukan sesuatu yang terbaik untuk dirinya.
Kesannya memang menjijikkan dan kotor. Tapi media ini cukup efektif untuk memberikan sentuhan kepada anak sambil menyampaikan pesan-pesan emosional kepada alam bawah sadar anak. Berdoalah, pada masanya nanti, ketika tua menjelma anak juga tidak merasa jijik dan kotor mengurusi kotoran bapaknya. Faktanya hari ini, banyak anak yang merasa malu bahkan jijik mengurusi ayahnya sendiri.
Kedua, memandikan. Pada saat memandikan anak, ayah akan menyentuh seluruh permukaan tubuh anak. Sentuhan ini akan ‘mentransfer’ ikatan bathin yang erat antara ayah dan anak. Tidak ada salahnya pula, sambil memandikan, ayah menyelipkan pesan-pesan emosional, seperti halnya ibu hamil berkomunikasi pada bayi di dalam kandungannya. “Nak, besok jika ayah meninggal, madikan jenazah ayah ya”. Hiks.
Lihatlah akhir-akhir ini, banyak anak yang lebih cenderung meminta petugas masjid untuk menyelenggarakan jenazah ayahnya sendiri. Padahal sesungguhnya itulah kesempatan terakhir bagi anak-anak untuk menyentuh tubuh ayahnya.
Harus diingat, uang tidak akan mempu menciptakan jalinan emosional yang erat antara ayah dan anak. Uang hanyalah salah satu supporting system kehidupan. Jalinan emosional itu harus pula dibangun dengan melibatkan ‘neuro’ atau syaraf-syaraf emosi yang ada. Jangan sampai ayah kehilangan momentum untuk menjalin ikatan bathin kepada anak-anaknya. Jangan sampai terlena, tiba-tiba tersadar anak-anak sudah dewasa dan sudah menjauh semua. #BNODOC25512092017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post