MENGHADAPI pemilihan kepala daerah (Pilkada) mendatang, keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau yang lebih dahulu dikenal dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) betul-betul mendapat ‘perhatian’ penuh. Aturan main keterlibatan mereka diatur sedemikian rupa oleh peraturan dan perundang-undangan.
Sederet dasar hukum yang berlaku bagi ASN diantaranya, UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil negara, UU No.10/2016 tentang ‘Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, PP No.53/2010 tentang ‘Disiplin Pegaiwai Negeri Sipil, PP No.42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, SE KASN No.B-2900/KASN/11/2017 tentang ‘Pengawasan Netralitas Pegawai ASN Pada Pilkada Serentak 2018, Surat MENPAN-RB No.B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas ASN.
Dan, saya hanya ingin menegaskan bahwa aturan-aturan ini dibuat sesungguhnya untuk menjamin keberlangsungan demokrasi yang sehat di negeri ini juga ‘menjaga’ ASN Itu sendiri.
Beberapa larangan nyata bagi ASN dalam Pemilu diantaranya dilarang mendeklarasikan diri sebagai wakil calon kepala daerah (boleh tapibharus mengundurkan diri), dilarang menghadiri deklarasi bakal calon, dilarang foto bersama dengan bakal calon, dilarang menjadi pembicara pada kegiatan partai politik, dilarang mengunggah, memberi ‘like’, mengomentari, atau menyebarluaskan gambar juga visi misi bakal calon di media sosial, dan seterusnya.
Larangan-larangan ini merupakan ‘pagar’ bagi para aparatur untuk tetap ‘aman’, sehingga tidak terganggu dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Para ASN sudah disumpah untuk mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara.
Itulah mengapa kemudian ASN itu juga disebut dengan abdi negara. Pengabdian sebesar-besarnya harus diberikan kepada kepentingan masyarakat. Hal ini juga menjadi ‘darah’ bagi ASN/PNS yang selalu diikrarkan melalui Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Anggota Korpri adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjanji :1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. 4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia. 5. Menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.
Maka dengan demikian, tidak ada alasan sedikitpun bagi ASN untuk tidak netral. Jika ada ASN yang masih coba-coba untuk memihak dengan kepentingan tertentu maka dengan sendirinya ia telah melanggar begitu banyak aturan yang berlaku dan melanggar sumpahnya sendiri. Makan sumpah!
Dampak negatif yang ditimbulkan jika para ASN tidak netral memang sangat banyak. Jika sorang ASN tidak netral maka akan memberi dampak buruk baik kepada dirinya maupun terhadap sistem tata kelola pemerintahan.
Beberapa diantaranya, pertama, secara personal, ia akan berdampak pada diri pribadi ASN itu sendiri, terutama jenjang karir yang ia jalani. Dalam konteks Pilkada, jika seorang ASN mencoba memihak kepada salah satu calon kepala daearah dan ternyata pada akhirnya calon tersebut kalah, maka sampai disitulah akhir karirnya. Ia akan ‘dibuang’. Jika menang pun, belum tentu pula mendapat ‘keuntungan’ sesuai yang diinginkan.
Kedua, mengganggu ketenangan hidup. Sudah barang tentu jika seseorang berbuat tidak sesuai aturan dan ketentuan yang ada maka ia juga akan kehilangan kenyamanan dalam bekerja. Ingat, orang yang melakukan kesalahan (walau pun tidak diketahui orang lain) tetap saja mengganggu bathinnya. Dampaknya, bekerja tidak maksimal dan dipastikan akan abai terhadap tugas dan tanggungjawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kehidupan seorang ASN yang tidak netral itu selalu terganggu. Ia akan selalu dihantui dengan rasa bersalah.
Ketiga, menganggu pelayanan dan tata kelola pemerintah. Hal ini memungkinkan terjadi lebih-lebih jika ASN yang memihak tersebut memiliki kekuasaan. Rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dapat dipastikan, biasanya para ASN yang memihak juga akan kehilangan nilai-nilai profesionalitas dan integritas. Mereka mengejar karir hanya semata mengedepankan jalur-jalur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ketidakprofesionalitasan inilah kemudian yang akan berdampak langsung pada tata kelola pemerintahan. Mereka tidak akan lagi menjalankan tugas sebagaimana mestinya karena sudah disibukkan dengan hal-hal yang berbau politis praktis (siapa dapat apa).
Akhirnya, dengan ‘segudang’ aturan yang ada maka sesungguhnya sudah tidak ada lagi sedikit pun alasan bagi ASN untuk tidak netral. Pun, jika aturan dan perundang-undangan itu tidak juga digubris, maka paling tidak ingatlah karir dan diri anda sendiri. Begitu memihak, maka itulah awal dari kehancuran karir juga akan kehilangan profesinalitas sebagai abdi negara dan ketenangan hidup dalam berkerja. Wahai ASN, mengabdilah dan netrallah!
Penulis: Bahren Nurdin, MA (Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur PUSAKADEMIA
Sumber foto: https://www. rakyatcirebon. id
Discussion about this post