“Orang mati saja dijadikan ‘jualan’ politik”. Mungkin itulah kalimat yang paling tepat untuk menanggapi maraknya ambulance ‘gratis’ yang disedikan oleh para politisi di negeri ini khususnya di Kota Jambi. Ambulance ‘gratis’ (saya beri tanda petik kata ‘gratis’ karena sesungguhnya tidak gratis. Siapa yang memakai ambulance tersebut maka ia telah ‘terhutang’ politik pada penyedia. Jadi sebenarnya tidak gratis) ini biasanya disediakan atas nama partai politik atau perorangan sebagai kandidat pemilihan wali kota 2013 mendatang. Dan tentunya yang menarik untuk disoroti adalah kemunculan ambulance politik ini hanya saat-saat sebelum pemilihan seperti saat ini saja. Setelah perhelatan ini selesai maka dapat dipastikan ambulance-ambulance itu pun ‘menghilang’.
Lantas apa yang salah? Tentu tidak ada yang salah. Semakin banyak ambulance yang tersedia tentu akan sangat membantu masyarakat yang mendapat kemalangan. Namun mari kita melihat fenomena ini dari sudut pandang nilai dan pendidikan politik. Pertama, dari sudut pandang nilai dan keetisan. Ambulance ‘gratis’ ini dipastikan dibalut oleh warna dan atribut partai politik atau gampar kandidat. Mari kita bayangkan dan rasakan ketika si mayit diantar ke liang lahat dengan menggunakan salah satu ambulance ini. Maka pada saat yang sama semua orang yang hadir memastikan bahwa si mayit dan ahli waris adalah ‘pengikut’ partai pemberi ambulance tersebut. Bagaimana jika pelayat tidak sama pilihan partainya dengan ambulance yang mengantar mayit? Maka tidak jadi melayat. Atau jika pun melayat, pasti dengan beban mental yang berat. Sungguh dampak-dampak psikologi dan social seperti ini agaknya terlupakan. Nafsu pilitik telah membunuh hati nurani sehingga menghancurkan tata nilai dan keetisan.
Memang hati nurani para politisi kita hari ini telah mati bersama keranda kematian di dalam ambulance ‘gratis’ ini. Seyogyanya, jika memang iklas memberi bantuan ambulance gratis, tidak perlu dibalut dengan atribut partai atau gambar kandidat. Sehingga bagi siapa pun pengguna ambulance tersebut tidak menanggung beban psikologi dan social. Yakinlah, tanpa atribut yang berlebihan pun masyarakat tahu bagaimana membalas budi baik yang telah diberikan. Bukankah berbuat baik itu tidak boleh riya?
Saat ini para politisi dan partai politik kehilangan nilai dan rasa dibunuh oleh nafsu kekuasaan yang terlalu besar. Menghalalkan semua cara. Kampanye melalui surat yasin, karpet masjid, ambulance, dan lain-lain dianggap hal yang biasa. Sehingga tidak jarang kita temui di dalam masjid surat yasin diberi cap partai tertentu atau gambar kandidiat. Entah kapan tembok mesjid dicet atribut partai politik atau gambar kandidat.
Kedua, dari sudut pandang pendidikan politik. Pemberian ambulance gratis yang pamer ini tentu mengajarkan masyarakat untuk berpolitik prakmatis. Politik untung rugi. Seseorang memilih kandidat hanya karena kandidat tersebut telah memberikan sesuatu kepada dirinya secara personal. Kompetensi dan kelayakan seorang kandidat untuk menjadi seorang pemimpin tidak lagi menjadi ukuran. Intinya, siapa yang paling banyak menyumbang itulah yang dianggap baik. Persoalan nanti uang sumbangan itu akan dibayar ‘mahal’ dengan korupsi yang dilakukan, itu tidak menjadi persoalan. Pendidikan politik seperti inilah yang telah membawa negeri ini diambang kehancuran dan kemunduran. Ternyata, kita tidak semakin dewasa dalam berpolitik, tapi semakin pintar menghitung laba rugi. Politik dagangan. “Kami sediakan ambulance gratis, tapi berapa suara untuk kami?”
Tulisan ini hanya memberi value lain dari sebuah fenomena di tengah masyarakat kita saat ini. Sungguh tanpa bermaksud anti terhadap suatu partai politik atau seorang kandidat. Masyarakat mau tidak mau harus terus dicerdaskan dan diedukasi. Jerat-jerat politik yang selalu menghukum nilai dan tatanan social di tengah masyarakat harus terus diwaspadai. Saya hanya ingin mengingatkan, jangan sampai hanya gara-gara warna ambulance yang mengantar si mayit tidak sealiran kita tidak jadi melayat atau menyembahyangkannya. Urusan fardu kifayah seperti ini dan urusan-urusan keagaamaan seharusnya tidak boleh dinodai oleh muatan politis apa pun. Jika tidak diswaspadai, sebentar lagi akan ada sumbangan tanah pekuburan dari partai politik tertentu dan yang boleh dikubur di sana tentunya yang mendukung partai tersebut. Sungguh sangat ironis.
Akhirnya, pilihannya tentu ada di tangan masyarakat sendiri. Ingatlah, sesungguhnya tidak ada ambulance gratis tersebut, karena harganya harus dibayar mahal dengan hutang budi politik. Bayarannya sudah sangat jelas yaitu suara untuk penyedia ambulance tersebut. Penyediaan ambulance tersebut menelan biaya yang besar, dan nanti akan dibayar oleh masyarakat ketika kandidat memangku kekuasaan. Saat itu masyarakat akan membayarnya dengan mahal karena sang penguasa akan mengambilikan biaya ambulance itu dari duit rakyat. Semoga kita samakin cerdas, amin.
Discussion about this post