Saya yakin sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal organisasi kemasyarakatan bernama Al-Ittihadiyah. Hal ini sangat beralasan karena organisasi ini lahir bahkan lebih dahulu dari kemerdekaan Republik Indonesia. Jika RI menyatakan kemerdekaanya tahun 1945, Al-Ittihadiyah sudah lahir sepuluh tahun sebelumnya, 1935. Itu artinya, di tahun 2018 ini Al-Ittihadiyah sudah berumur 83 tahun.
Secara historis, kelahiran Al-Ittihadiyah merupakan perlawanan nyata ummat Islam terhadap politik adu domba yang dikonstruksi oleh penjajah Belanda. Sebagaimaimana sampaikan oleh Bapk H. Mahmud Abu Bakar (Mantan ketua umum) dalam Azhar, et al (1960:66) bahwa Belanda melancarkan politik pecah belah yang melemahkan kekuatan umat Islam dan menghancurkan potensi alim ulama dikarenakan hendak memperkuat kukunya untuk menjajah Indonesia buat selama-lamanya.
Politik adu domba ini kemudian berhasil memecah belah umat Islam, sehingga muncullah kubu atau kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Di sisi lain, muncul pula kaum intelek yang kebarat-baratan yang melontarkan kata-kata yang merendahkan ulama dan umat Islam dengan mengatakan bahwa kaum agama dan alim ulamanya adalah ortodok (alittihadiyahsumut.com).
Pada masa inilah kemudian dirasa perlu ada organisasi yang mampu mengikat dan merekat semua yang dipisahkan tersebut. Dalam konteks inilah, Al-Ittihadiyah hadir untuk menjembatani dan mempersatukan umat serta sebagai salan satu barisan jihad bagi kekuatan kaum muslimin (Arsyad, et al, 1968:19). Maka pada 27 Januari 1935 di gedung Zelfstanding Yong Islamiten Bond Jalan Sisingamangaraja, di belakang masjid Raya Medan, Syekh K.H. Ahmad Dahlan mendeklarasikan Al-Ittihadiyah.
Politik adu domba memang merupakan hal yang sangat mengerikan. Perpecahan adalah hal yang paling memungkinkan untuk menciptakan kelemahan. Para penjajah di masa itu sangat menyadari hal ini. Mereka sadar, sesadar-sadarnya bahwa Indonesia hanya bisa dikalahkan ketika masyarakatnya berpecah belah, terutama ummat Islam. Jika bersatu, tidak akan bisa ditaklukkan. Maka hal pertama yang harus diganggu adalah persatuan.
Agaknya, pola ini pun masih terus terjadi bahkan dikembangkan dalam bentuk dan warna yang berbeda hingga saat ini. Memang penjajahan Belanda dan Jepang sudah berlalu secara fisik. Tidak ada lagi orang Belanda yang lalu lalang mengenakan celana pendek putih, bertopi bundar hilir mudik memanggul senjata. Tapi ‘nilai-nilai’ penjajahan itu tetap saja masih berlaku. Politik adu domba di kalangan ummat Islam masih saja dipraktekkan oleh para ‘penjajah’ zaman now.
Al-Ittihadiyah, dari lahirnya hingga sekarang masih tetap berpegang pada roh utamanyanya yaitu melawan perpecahan dan menjadi pengikat persatuan semua golongan bagi umat Islam. Organisasi ini berdiri di atas semua kepentingan demi terjalinnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Saat ini, paling tidak ada tiga medan juang Al-Ittihadiyah yaitu pendidikan, ekonomi, dan pengkaderan. Ini adalah pintu-pintu strategis yang sekaligus merupakan alat perjuangan melawan penjajahan yang terjadi saat ini.
Pertama, pendidikan. Pembangunan sumber daya manusia adalah harga mati. Ummat akan bersatu jika mereka memiliki ilmu pengetahuan yang baik. Tidak mudah dihasut dan diprovokasi. Sudah seharusnya, anak-anak negeri ini bangga dengan pola dan sistem pendidikan negerinya sendiri. Konsep pendidikan yang diajarkan oleh Islam sudah sangat baik, bahkan terbaik. Tapi, persoalannya sejauh mana orang-orang Islam merasa percaya diri menerapkan konsep-konsep pendidikan yang mereka miliki.
Maka pembangunan sumber daya manusia melalui berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun informal harus dikembalikan kepada akarnya (Islam). Pendikan ummat harus bangkit dan berdaya saing.
Kedua, pemberdayaan ekonomi. Siapa yang sekarang menguasai ekonomi bangsa ini? Segelintir orang yang (meminjam istilah Ketua Umum Al-Itthadiyah Bapak Dr. Lukmanul Hakim) ‘tidak untuk ummat tapi untuk golongan mereka sendiri’. Keuntungan-keuntungan yang mereka peloleh dari berbagai kegiatan ekonomi di negeri ini masuk ‘kantong mereka sendiri’. Ummat Islam di negari ini hanya menjadi ‘sapi perah’ kaum kapitalis. Lihat saja ‘mart-mart’ yang menjamur saat ini, kemana mengalir keuntungan yang diperoleh? Padalah konsumen terbesarnya adalah ‘kita’.
Maka seharusnyalah penguasaan ekonomi itu mulai direbut dari tangan ‘penjajahan’. Kebijakan-kebijakan (dari hulu hingga hilir) sudah harus berpihak kepada kepentingan ummat. Masyarakat sudah harus berdaya dengan menguasai dan menjadi pemain di dunia pasar.
Ketiga, kaderisasi. Sudah sepantas dan seharusnya negara ini dikelola oleh orang-orang yang berpihak kepada kepentingan ummat bukan pada kepentingan segelintir orang agar kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak bias. Maka orang-orang tersebut harus dengan sengaja (by design) ‘dilahirkan’ dan ditempa. Maka kaderisasi bangsa ini menjadi keniscayaan. Mereka harus berada di berbagai sector sehingga mampu menjalankan perannya masing-masing seperti ilmuan (guru, dosen, ustad, kiyai dll), birokrat, teknorkrat, professional, dll sampai kepada ‘raja-raja’ di daerah (kepala daerah). Al-Ittihadiyah memiliki peran strategis untuk mewujudkan itu.
Akhirnya, terlalu idealkah cita-cita yang ingin digapai organisasi ini? Tidak juga. Yakin dan percaya, melalui tekad dan semangat yang direkat dengan nilai-nilai persatuan dan kesatuan ummat, visi ini akan terus diperjuangkan. Rapatkan barisan, Al-Ittihadiyah Kota Jambi siap berjuang! In sya Allah, Allahukabar!
Discussion about this post