Oleh: Bahren Nurdin, MA
Sebelum tulisan pendek ini saya lanjutkan, perhatikan baik-baik. Pertama, tulisan ini tidak untuk menyinggung siapa pun dengan tujuan apa pun. Kedua, tulisan ini hanya gambaran umum fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Jadi, tidak perlu ada yang merasa-rasa atau menduga-duga. Titik.
Adakah orang yang menyebut dirinya aktivis? Jika ia benar-benar aktivis pasti dia tidak berani menyebut dirinya sendiri sebagai aktivis. Apa sih aktivis? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan dua definisi dasar 1. orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya; 2. Pol seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya).
Aktivis itu sederhananya adalah orang yang ‘aktif’ mendorong jalannya organisasi dan ‘menggerakkan’ massa untuk kepentingan tertentu seperti demonstrasi. Oke, sampai di sini tidak ada yang perlu didiskusikan lebih jauh. Namun, ketika menggali lebih dalam kata ‘aktif’ dan ‘menggerakkan’ barulah sampai pada aktivitas keaktivisan seorang aktivis. Bagaimana cara mereka ‘aktif’ dan siapa yang mampu ‘digerakkan’, dan yang terpenting ‘untuk apa mereka bergerak (goal).
Sedikit kembali ke belakang, saya tepat berada di era transisi runtuhnya Orde Baru (orba) dan masuknya Era Reformasi. Saya diterima di Univeristas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1998. Medio 1998 hingga 2000 adalah masa-masa transisi yang penuh dengan kegiatan-kegiatan ‘aktif’ dan ‘pergerakan’. Saya bukan aktivis. Saya hanyalah partikel kecil yang selalu aktif dalam diskusi-diskusi ‘kebangsaan’ dengan ‘sejuta nama’, (setiap ngisi daftar hadir, pasti nama berbeda, hehehe). Masa itu, saya lebih merasa lebih ‘in’ di jalur pemikiran walaupun sesekali juga ikut meramaikan Bundaran UGM.
Walaupun tidak banyak, saya hobi bergulat dengan buku-buku ‘aneh’. Bahkan, sampai hari ini saya masih bisa membaca kutipan di buku harian (catatan) saya yang masih tersimpan. Ini salah satunya, “Mereka semua bergulat menuju tahta; itulah kegilaan yang mereka punya – seakan kebahagiaanlah yang duduk di atas tahta! Seringkali kotoranlah yang duduk di atas singasana dan sering pula tahta di atas kotoran”. (Friedrich Nietzsche (1844 -1900) dalam bukunya yang berjudul Zarathustra.
Saya pun khatam ‘Buru Quartet’-nya Pram sejak buku-buku tersebut masih dilarang disentuh oleh siapa pun, termasuk kami anak-anak sastra waktu itu. Membaca dalam diam dan kemudian ‘membuang’ buku-buku itu adalah cara terbaik. Saya pun sangat berkeyakinan bahwa orang boleh dipenjara, tapi pemikiran tidak. Melahap buku Anthony Giddens “The Third Way” (Jalan ke Tiga) atau berkutat dengan ‘Pemikiran Karl Marx’ karya Frans Magnis – Suseno, dan buku-buku lainnya adalah salah satu cara menikmati pemikiran ‘aneh’ tentang kehidupan dan sosial.
Maka terkadang melihat fakta ‘keaktivisan’ hari ini saya khawatir dan sedih. Banyak sekali orang-orang yang berteriak aktivis tapi masih sangat jauh dengan ‘norma’ dan ‘etika’ keaktivisan itu sendiri. Bagaimana mereka memperjuangkan suatu kebaikan tapi dengan cara-cara yang ‘kotor’. Bagaimana mereka menyebut ‘ini perjuangan rakyat’ tapi hanya alibi untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Suatu waktu, di dalam kelas saya pernah bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang ‘dicap’ sebagai aktivis kampus, ‘buku apa yang anda baca tentang ‘keaktivisan’? Apa jawabnya, “saya tidak suka baca buku Pak. Enak langsung aksi”.
Jika pola pikir seperti ini terus dikembangkan, sekali lagi saya hanya khawatir, orang-orang yang saat ini banyak berteriak menyebut diri mereka aktivis, sesungguhnya tidak lebih dari pengemis-pengemis yang terorganisir dan bersuara lantang. Mereka berteriak selagi ada kepentingan untuk diri dan kelompok mereka sendiri. Makna dari aktivis dan perjuangan itu hanya dijadikan ‘alat’ untuk mendapatkan keuntungan.
Ingat, aktivis itu mengorbankan apa yang ia punya, bukan mengeruk keuntungan dari kegiatan keaktivisannya untuk diri sendiri! Sekali lagi ingat, mengorbankan!
Akhirnya, kita berterima kasih kepada kawan-kawan yang menyebut diri mereka aktivis dan benar-benar beridiri di atas kebenaran. Tapi sungguh, kita sangat bersedih ketika menemukan orang-orang yang berteriak sebagai aktivis tapi tidak lebih dari memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka sendiri. Teriak ‘lapar’ mereka berteriak keras dan kemudian diam ketika sudah ‘kenyang’. Agaknya inilah mereka yang ‘casingnya aktivis, tapi softwarenya pengemis’. Mudah dibeli! #BNOODOC28917102017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post