Oleh: Bahren Nurdin, MA
Ketika reformasi pecah pada tahun 1998, tiba-tiba semua orang mendadak jadi penyair. Di mana-mana orang membaca puisi, dari ruang seminar hingga jalanan dan kolong jembatan. Ya, semua kalangan; aktivis, pejabat, buruh, petani, akademisi, guru, siswa, mahasiswa, ibu rumah tangga, tukang becak, polisi, tentara, kiyai, dan seterusnya, membaca puisi. Lantas ada apa dengan puisi?
Seorang penyair Inggris ternama William Wordsworth (1770-1850) mendefinisikan puisi sebagai “the spontaneous overflow of powerful feelings” (luapan perasaan yang dahsyat dan spontan). Jadi puisi itu adalah cara orang untuk menyalurkan perasaan yang meluap-luap. Kapan perasaan itu akan meluap-luap? Jika ia mendapat dorongan yang kuat lagi dahsyat dari dalam diri. Itulah kemudian mengapa orang terlalu sedih, terlalu bahagia, terlalu marah, terlalu kecewa, terlalu sayang, dan terlalu-terlalu lainnya mereka berpuisi.
Ternyata, puisi adalah ‘kanal’ yang sangat efektif untuk menyalurkan luapan perasaan dari dalam diri manusia. Reformasi adalah puncak luapan kemarahan rakyat Indonesia yang kemudian banyak tersalurkan melalui puisi. Kemarahan dan kebencian terhadap rezim mengalir menjadi bait-bait yang nan indah dan bermakna. Kesedihan dan kekecewaan terhadap penguasa tersembunyi rapi di balik kata-kata. Moncong-moncong senjata nan garang dan meregang ‘dianyam’ apik oleh syair nan mengalir. Merdu dan syahdu!
Itulah mengapa Dylan Thomas (1914-1953) mengatakan bahwa “Poetry is what makes me laugh or cry or yawn, what makes my toe nails twinkle, what makes me want to do this or that or nothing”. Puisi tidak hanya kata-kata, tetapi ia memiliki kekuatan yang maha dahsyat untuk mendorong orang melakukan sesuatu atau tidak mau melakukan sesuatu. Puisi kemudian mampu mengobarkan semangat hingga membara, atau sebaliknya ia mampu memadamkan gejolak ‘neraka’ di dalam jiwa.
Puisi pula yang mampu membuat orang menangis, tertawa atau menangis sambil tertawa, dan tertawa sambil menangis. Lihatlah mereka yang tersenyum renyah dengan bercucuran air mata. Dan saksikan pula kemarahan-kemarahan itu menyeruak diantara senyum dan tawa di bibir. Oh puisi!
Hanya jiwa-jiwa kerontang nan gersang yang tidak ditumbuhi oleh puisi. Puisi akan hidup dan bersemi dalam setiap jiwa manusia yang subur akan nilai dan rasa. Dan, bagi mereka pemburu makna.
Puisi jualah nan merekam zaman dan mencatat lukisan sejarah. ‘Karawang-Bekasi’-nya Khairil Anwar (1922-1949) mampu mengabarkan kepada rakyat Indonesia sampai kapan pun tentang jiwa-jiwa suci para pahlawan yang telah dipersembahkan untuk negeri ini. Sebuah peringatan sejarah yang takkan lekang oleh zaman. Khairil Anwar mengingatkan “Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan /kemenangan dan harapan /atau tidak untuk apa-apa, /Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/
Kaulah sekarang yang berkata”. Khairil ingin nunjuk ‘batang hidung’ kita yang hidup sekarang dan bertanya ‘apa yang telah kau persembahkan untuk negeri ini?’.
Juga melalui puisi, kepada Pak Khairil Anwar saya ingin kabarkan bahwa;
Kerajaan ini memang tak besultan
Rantau ini tak bejenang
Negeri tak bebatin
Luhak tak berpenghulu
Kampung tak betuo
Rumah tak lagi bertengganai
Negeri ini telah habis dimamah oleh keserakahan dan kerakusan akan kekuasaan sehingga ia tak lagi bertuan.
*****
Hari ini (26/7/2017) saya dapat undangan untuk mempersembahkan puisi dalam perhelatan Hari Puisi Indonesia Jambi. Inilah catatan masa dalam sebuah puisi yang akan saya persembahkan pada kegiatan ini.
GENTALA TAK BERTUAN
Oleh: Bahren Nurdin
Masih setia ia mengalir; dari hulu hingga hilir
Riak kecil bersama kapar-kapar menghampar
Hanyut jauh hingga ke samudera tak bermuara
Sambil berkata pada menara, “Apa kabar, Gentala?”
Yang ditanya tak bersuara; diam seribu kata
Tidak juga tersenyum, apa lagi tawa
Ia sedang bermuram durja
Nasibnya malang alang kepalang
Tinggi menjulang tapi tak terbilang
Megah gagah tapi tak bermawah
Indah dan cantik tapi tak dilirik
Malang nian nasipmu kini wahai Gentala
Ooo… Gentala
Kau berdiri megah di tanah bertuah
Tapi kau tak berharga bak sampah
Diiringi sumpah serapah para bedebah
yang mencari makan dari sumpah
Ooo…Gentala
Menjulanglah hingga ke Arasy
Bertemulah dengan tuhanmu
Ceritakan, saat ini kau yatim piatu di tengah para benalu
Penghisap darah, penjilat nanah, penyembah kekuasaan
Ooo…Gentala
Kau memang sebatang kara
Kerajaan ini memang tak besultan
Rantau ini tak bejenang
Negeri tak bebatin
Luhak tak berpenghulu
Kampung tak betuo
Rumah tak lagi bertengganai
Ooo…Gentala
Kini, janganlah kau sesali diri
Mentari masih setia datang dan pergi
Sama seperti sore ini
Aku menyaksikan bayang-bayangmu telah hanyut ditelan riak Batang Hari
Pertanda mentari pamit menuju upuk
Memerah merekah marah tak berdarah
Syahdu pilu meninggalkan para pemburu bayangmu
Mereka datang dan pulang tanpa mata dan sukma
Mereka yang dulu melahirkanmu entah dimana
Mereka yang kini bersamamu pun telah terkubur berselimut citra
Yang tersisa kaum-kaum alay dengan tongsis bak belalai
Foret-fotretmu dipajang telanjang tak bernilai
Dan kau diabai; terbengkalai!
*****
Akhirnya, jika puisi itu adalah ‘luapan perasaan yang dahsyat’, inilah perasaan yang terus menyeruak pada deru nafas yang terhembus. Sesak di dada, menetes air mata, sedih dan iba, melihat Gentala yang menjulang
gagah tapi kehilangan marwah! Selamat Hari Puisi
Indonesia.
#BNODOC20626072017
*Akademisi UIN STS dan Pengamat Sosial Jambi
Discussion about this post