Oleh: Bahren Nurdin, MA
Kenali.co, Selamat ulang tahun Provinsi Jambi yang ke 60 tahun. Umur 60 tahun itu semestinya sudah cukup matang untuk menentukan jati dirinya sebagai sebuah provinsi. Seharusnya sudah cukup berani untuk menyebut dirinya sendiri. Lihatlah beberapa provinsi di Indonesia. Raiau lantang menyebut dirinya Melayu. Yogyakarta tidak ragu-ragu mengidentitaskan dirinya sebagai Kota Pelajar. Aceh bangga dengan sebutan Serambi Mekah. Jakarta menempatkan dirinya sebagai kota metropolitan. Dan seterusnya. Lantas apa identitas Provinsi Jambi?
Ternyata hingga umur 60 tahun ini Provinsi Jambi masih saja ‘gamang’ untuk menetukan identitas dirinya. Sayup-sayup terdengar bahwa Jambi adalah bumi Melayu. Tapi sebutan itu tidak pernah benar-benar terefleksi pada ‘orang Jambi’. Lihatlah Aceh yang menyebutkan dirinya Serambi Mekah, sangat terasa penegakan syariat Islam dalam segala lini kehidupan masyarakatnya. Contoh pula Yogyakarta yang bangga dengan Kota Pelajar, betapa nuansa ‘pelajar’ masuk ke seluruh sendi kehidupan orang-orang yang menjejakkan kaki di sana. Itu artinya, identitas diri yang tersematkan harus muncul dan menjelma dalam setiap dinamika kehidupan masyarakatnya.
Agaknya hal inilah yang menjadi kegamangan Peovinsi Jambi. Katakanlah ini ‘Negeri Melayu’ tapi segala tatanan kehidupan masyarakatnya tidak benar-benar memberikan gambaran utuh Kemelayuan. Secara sederhana, identitas diri suatu daerah dapat tergambarkan melalui beberapa hal. Pertama, bentuk fisik/bangunan. Lihat saja Sumatera Barat. Seketika kita memasuki negeri Minangkabau ini, kita akan langsung dipertemukan identitas budaya melalui bentuk bangunan baik rumah masyarakat umum maupun perkantoran yaitu ‘tanduk kabau’. Jangankan rumah dan kantor, pom bensin pun bentuk atapnya sama denga Istana Pagaruyung.
Ini tidak pernah terjadi di Jambi. Adakah identitas Kemelayuan Jambi ‘hidup’ di bangunan-bangunan yang ada di negeri Sulthan Thaha ini? Tidak. Lihat kantor gubernur Jambi? Mana ‘Jambi’nya? Lihatlah ruko, kantor pemerintahan, rumah masyarakat, dll tidak pernah serius menampilkan identitas Ke-Jambiannya. Semua bentuknya ’centang perenang’ alias sekendak ‘udale dewe’.
Kedua, pakaian. Pakaian adalah salah satu identitas budaya yang merefleksikan jati diri sebuah daerah. Provinsi Bali misalnya, sangat jelas bagaimana pakaian yang mereka kenakan baik acara formal maupun kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Melalui pakaian mereka menampilkan identitas diri mereka sebagai Pulau Dewata. Melalui pakaian yang mereka kenakan mereka menyampaikan ‘inilah kami orang Bali’ yang kental dengan Hindu. Nuansanya terasa dan terpancarkan. Bagaimana dengan Jambi? Yang mana pakaian orang Jambi? Apa ciri khas yang membedakan ’orang Jambi’ dengan yang lainnya? Ada batik Jambi tapi gaungnya sayup-sayup dibawa angin. Masih gamang!
Ketiga, kuliner / makanan. Sebutlah rendang. Sebutlah pempek. Sebutlah gudeg. Anak kecil juga bisa menjawab jika ditanya dari mana asal makanan tersebut. Mengapa? Karena makanan-makanan ini sudah menjadi identitas budaya yang melekat erat dengan daerahnya. Betulkah Tempoyak sebagai identitas Jambi? Masih sangat ‘questionable’. Saya belum melihat ada aura kebanggan dari orang Jambi menyebutkan Tempoyak sebagai kekhasan makanannya. Tidak ada pula kampanye pemerintah Jambi untuk membesarkan nama Tempoyak seperti gencarnya orang Minang memasarkan rendang dengan segala upaya. Sekali lagi, masih gamang.
Keempat, adat isti-adat. ‘Syara’ mengato adat memakai. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah. Artinya di Jambi adat isti-adatnya sangat ketat berlaku di tengah masyrakat sebagai identitas budaya. Hukum Adat menjadi ‘Panglima’. Benarkah? Lihat saja semakin hari Adat Malayu Jambi semakin terpinggirkan. Pemerintah Provinsi Jambi tidak pernah memberikan perhatian penuh pada Lembaga Adat yang ada. Yang lebih lebih menyedihakan beberapa rang adat tenggelam dalam pusaran kepentingan dan politik praktis. Pelestarian adat budaya menjadi semakin suram. Dalam adat perkawinan saja, orang Jambi semakin tidak mengetahui dirinya. Mana pakaian adat Jambi. Mana tata cara Adat Jambi? Akhirnya, dalam sebuah upacara adat perkawinan di Jambi dicampur aduk layaknya gado-gado. Ujung-ujungnya, dalam sebuah pesta perkawinan ‘litak dek beganti pakaian adat’. Harusnya, jika memakai adat Jambi ya sudah ditentukan mana dan bagaimananya. Masih gamang!
Akhirnya, 60 tahun Provinsi Jambi ternyata masih saja gamang dalam menentukan identitas dirinya. Ibarat manusia, badannya ada tapi identitasnya ‘tidak jelas’ sehingga dia bingung dengan dirinya sendiri. Dia bingung menyebut dirinya siapa. Dia tidak tahu apa beda dirinya dengan yang lain. Sudah saatnya, melalui ulang tahun yang ke 60 ini seharusnyalah Provinsi Jambi telah berani mentukan identitas dirinya! Membangun karakter yang kuat dan kokoh sebagai ORANG JAMBI.Semoga.
#BN06012017
Sumber: www.kenali.co
http://kenali.co/berita-75764-60-tahun-masih-gamang.html#ixzz4XyvLc39H
Discussion about this post