SAYA sangat yakin bahwa setiap kita menginginkan Pemilihan Umum 2019 berjalan dengan damai. Kata damai dirumuskan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan arti “tidak ada perang, kerusuhan dan permusuhan. Keadaan rukun, aman dan tenang”.
Dengan damailah nantinya presiden, anggota legislatif (RI dan daerah), dan anggota DPD, dapat terpilih secara demokratis dan legitimit. Siapa pun kita, pasti menginginkan itu. Saya percaya!
Keinginan bersama ini tentunya harus pula diikhtiarkan secara bersama. Harus ada kesatuan visi dan aksi untuk mewujudkan mimpi-mimpi demokrasi di negeri ini. Tidak boleh ada yang mencoba untuk mengoyak cita-cita demokrasi ini dengan aksi-aksi yang mencederai.
Damai, aman, sejuk, demokratis, dan seterusnya adalah kondisi yang seharusnya terjadi. Perbedaan pilihan politik tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan cita-cita kedamaian ini.
Usaha bersama inilah yang harus diwujudkan. Salah satu cara yang sedang ngetrend saat ini adalah dengan menyebarkan pesan damai melalui hastag (tanda pagar) #2019PemiluDamai.
Kemajuan teknologi informasi saat ini harus dimaksimalkan sebagai media dan cara menyebarluaskan pesan-pesan positif khususnya menghadapi perhelatan pesta demokrasi tahun 2019 mendatang.
Namun demikian, pesan damai saja tidak cukup. Tidak cukup hanya sekedar pesan; harus ada kesadaran semua elemen bangsa ini untuk mencapainya. Ada beberapa element yang sangat berperan untuk menciptakan pemilu damai tersebut.
Pertama, orangnya harus damai (peserta pemilu, penyelenggara, penegak hukum dan masyarakat). Ini elemen penting sebagai penggerak kedamaian pemilu mendatang. Peserta pemilu dalam hal ini capres, caleg, dan calon anggota DPD harus mampu memiliki visi damai. Termasuk di dalamnya tim sukses atau tim pemenangan. Harus betul-betul tertanam nilai-nilai kedamaian.
Begitu juga para penyelenggara. Orang-orang yang sudah ditunjuk oleh negara sebagai penyelenggara harus betul-betul mengedepankan kedamaian. Apa pun alasannya tidak boleh ada kesan mereka gontok-gontokan satu sama lain, atau antar lembaga. Jangan ada kesan KPU dan Bawaslu perang. Jangan!
Penegak hukum lebih lagi. Tegas tapi tidak ganas dan bringas. Visinya adalah kedamaian. Maka orang-orang penegak hukum yang ditugasi mengurusi pemilu ke depan harus betul-betul dipilih mereka yang mampu menjaga rasa damai bukan yang memicu ketegangan. Menjaga kedamaian dengan cara-cara damai.
Masyarakat tentunya juga sangat berperan dalam menciptakan kedamaian itu. Harus betul-betul ditanamkan ke dalam benak masyarakat kita bahwa jika pemilu mendatang tidak berjalan dengan damai atau terjadinya hal yang tidak diinginkan seperti chaos, rusuh, perang dan seterusnya, yang rugi adalah masyarakat sendiri. Dan sebaliknya, jika pemilu berjalan damai yang untung adalah rakyat sendiri. Kejarlah untung!
Kedua, proses penyelenggaraannya harus damai. Setiap tahapan yang telah ditetapkan oleh undang-undang semestinyalah berjalan dengan damai. Tidak boleh ada satu tahapan pun yang menciptakan kericuhan.
Tahapan demi tahapan berjalan dengan baik dan benar. Semua informasi dapat diakses oleh masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Ketiga, penegakan hukumnya harus damai. Jika terjadi selang sengketa pada pemilu mendatang harus diselesaikan dengan hukum. Hukum harus menjadi panglima pemutus perkara. Namun, di depan hukum itu harus berdiri kokoh kedamaian.
Damai harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari hukum itu sendiri. Harus betul-betul disadari bahwa keberadaan hukum harus dijadikan alat untuk mencapai kedamaian itu sendiri.
Akhirnya, beberapa waktu lalu, Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Provinsi Jambi bersama Polda Jambi, KPU, Bawaslu dan berbagai elemen lainnya telah meluncurkan tagar #2019PemiluDamai sebagai bentuk usaha bersama tercapainya cita-cita perdamaian pada pemilu mendatang. Hastag tentunya belumlah cukup jika tidak dibarengi aksi nyata bersama. Mari barsama!
Discussion about this post