Saya kaget dan hampir tidak percaya mendapat berita si Sulung, keponakan saya yang masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar swasta di Kota Pekanbaru, ‘diusir’ dari kelasnya saat hendak mengikuti ujian karena ‘belum bayar spp’. Sebegitu kejamkah sekolah sekarang? Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata bukan kesalahan orang tua yang belum bayar SPP tapi kesalahan sekolah sendiri. SPP sudah dibayar tapi keteledoran pihak sekolah yang tidak mencatatkan pembayaran tersebut. Mereka yang salah anak kami jadi korban. Ini sebuah kekejaman! Ini tindakan anti kemanusiaan!
Saya sengaja tidak menyebutkan nama sekolahnya karena khawatir tulisan ini berubah menjadi isu pencemaran nama baik institusi. Tujuan tulisan ini semata ingin mengingatkan kita semua bahwa sekolah-sekolah kita saat ini sudah berubah. Sekolah kita sudah kehilangan nilai-ninai kemanusiaan yang digerus habis oleh nilai-nilai materialistik (business oriented). Sekolah yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan malah mempraktekkan kekejaman alias anti kemanusiaan.
Kejadian semacam ini tidak bisa kita anggap sepele. Banyak sekali dampak yang ditimbulkan terhadap anak; terbesar adalah dampak psikis. Atau memang pihak sekolah sudah tidak punya hati nurani? Bayangkanlah dengan nurani kita sebagai orang tua, betapa sedihnya anak kami harus meninggalkan kelas dan tidak bisa bersama-sama temannya mengikuti ujian tersebut. Segala keceriaan, persiapan dan semangat belajar hilang seketika. Air mata bercucuran atas sebuah kesalahan yang tidak dia pahami. Yang dia bisa perbuat hanya ‘marah’ kepada bundanya. Anak sekecil itu belum kan mampu memahami ada kekejaman di sekolah itu.
Kejadian ini memberi dampak negative terhadap psikologis anak yang luar biasa. “Mengapa Kakak tidak boleh ikut ujian? Mengapa kakak diusir? Kan, kakak sudah belajar?” Siapa yang mempu menjelaskan pertanyaan lugu ini? Pelukan dan air mata bunda pun belum mampu menjelaskan bahwa itu bukan kesalahan dia, tidak juga kesalahan bunda. Betapa dia malu dengan teman-temannya. Seketika, Dia merasa terkucilkan. Dia merasa diabaikan. Dia merasa rendah diri. Dia kehilangan semangat dan keceriaan. Puaskah sekolah dengan semua ini? Inikah sekolah?
Sebagai praktisi pendidikan (saya pernah mengajar SD hingga SMA), tahu persis psikologi anak-anak seumur Kakak. Tidakkah pihak sekolah tahu bahwa pada masa ini, sebagaimana teori perkembagan Psikologi perkembangan Sigmund Freud, anak berada pada tahap laten (5-12 tahun). Pada masa ini semua pihak dari orang tua, sekolah dan lingkungan harus ekstra hati-hati karena anak sedang memiliki rasa ingin tahu dan egonya sangat tinggi. Dan pada masa inilah anak pada tahap pencarian termasuk figur orang tua dan guru. Maka, tidak sepantasnya sekolah melakukan hal ini. Anak kami kehilangan kepercayaan diri. Dia akan kehilangan figur yang ia percaya untuk membelanya. Harusnya sekolah tidak harus melarangnya untuk ikut ujian karena semua pasti ada solusinya. Lebih-lebih ini adalah kelemahan manajemen sekolah itu sendiri!
Sungguh saya sedih sekali mendengar berita ini. Sedih membayangkan nasip para orang tua yang tidak mampu membayar uang sekolah. Atau karena satu lain hal, terlambat bayar spp. Mungkin pihak sekolah akan berkata “jika tidak ada uang, jangan sekolah di tempat kami. Jika tidak suka, pindahkan saja anak Anda”. Mereka benar, karena bagi mereka sekolah tidak lebih dari sebuah perusahaan bisnis. Sekolah adalah industri untuk mendulang materi!
Beginilah ketika sekolah telah kehilangan nilai-nilai. Melalui tulisan singkat ini, saya ingin menyampaikan kepada semua pihak yang berwenang, khususnya di Kota Pekanbaru untuk tidak tinggal diam. Saya berkeyakinan, di sekolah ini sudah banyak anak-anak yang terusir karena tidak bayar SPP. Pihak dinas pendidikan dan kebudayaan sudah seharusnya menelusuri manajemen sekolah ini. Para orang tua yang pernah merasa dirugikan jangan tinggal diam. Sekali lagi, ini tidak hanya urusan SPP tetapi lebih dari itu, ini adalah persoalan institusi pendidikan yang akan mencetak generasi bangsa ini. Jika anak-anak kita terus dididik dengan mengabaikan nilai-nilai, maka kita khawatir suatu saat nanti bangsa ini akan dipenuhi ‘robot-robot’ yang jiwanya kerontang nilai-nilai. Mereka pintar tapi tidak memiliki hati sanubari. Semoga menjadi perhatian kita semua, amin.
Discussion about this post